11 Desember 2011

Melawan Mitos HIV & AIDS

Dua orang perempuan masuk ke dalam ruangan dimana saya dan beberapa teman sedang mendengarkan pengalaman sebuah organisasi yang bergelut di isu HIV & AIDS di Bali. Seorang staf organisasi tersebut lantas meminta keduanya untuk duduk di bangku depan dan memperkenalkan diri mereka, termasuk statusnya sebagai orang yang terinfeksi HIV. Sang staf lalu mempersilakan kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Saya salah tingkah. Tak bertanya satu pun, hanya kening berkerut-kerut.

Bukan hanya sekali dua saya bertemu orang yang terinfeksi HIV. Beberapa kawan saya juga HIV positif, sebagian perempuan. Namun bukan itu yang menjadi alasan saya memilih bungkam. Jika kawan-kawan saya yang positif HIV bisa dengan tenang dan percaya diri menceritakan statusnya di depan umum karena sudah terbiasa, saya menangkap ketidaknyamanan pada wajah dua perempuan ini. Wajah yang mengajak memori saya kembali ke beberapa tahun lalu, saat saya pertama kali bertemu dengan perempuan yang HIV positif yang bukan berasal dari komunitas pengguna napza suntik dan pekerja seks, komunitas-komunitas yang selama ini dianggap beresiko tinggi dalam penularan HIV. Saat itu saya sedang membantu memfasilitasi pertemuan orang-orang yang terinfeksi HIV dari berbagai komunitas. Ia adalah salah satu pesertanya.

“Aku dapat dari suamiku.” Kalimat itu begitu saja keluar dari mulutnya tanpa saya tanya. Saya masih ingat, saat itu kami sedang menikmati kopi di sela acara. Saya langsung paham yang dia maksud ‘dapat’ artinya adalah terinfeksi HIV. Yang membuat saya agak terkejut adalah karena selama sesi pertemuan, dia tidak banyak bicara. Lebih sering duduk diam dan mendengarkan. Wajahnya yang lugu sangat serius mencerna setiap informasi yang didapat dan saat berbicara terdengar agak ragu karena masih harus bergelut dengan emosinya sendiri. Saya mungkin terdengar mendramatisir, tapi anda mungkin juga akan menyimpulkan hal yang sama jika melihat genangan air matanya nyaris tumpah saat dia melanjutkan kisahnya, “Suamiku sudah meninggal. Saat itulah aku baru tahu ia meninggal karena AIDS. Dan pada hari itu juga aku tahu aku HIV positif”.

Kejadian itu baru dia alami beberapa bulan sebelum kami bertemu. Wajar rasanya jika saat itu kondisinya belum stabil, apalagi usianya hanya terpaut beberapa tahun di bawah saya. Harus menerima sekian kenyataan yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apalagi dengan bayi yang belum genap setahun, kekhawatiran akan masa depan masih terbayang di wajahnya kala itu. “Syukurlah, anakku negatif,” katanya sambil tersenyum.

Sikap dan cara bicaranya sangat berbeda saat dia berbicara dengan saya dan saat dia berada dalam forum. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh dua perempuan yang saya lihat siang itu. Sayang, saya kehilangan kesempatan untuk mengobrol santai dengan mereka. Walaupun saya juga tidak tahu apa yang akan saya tanyakan, tapi saya merasa lebih nyaman berbicara secara personal. Dalam hal ini, saya memposisikan bagaimana jika saya adalah mereka. Saya tidak akan melakukan hal yang saya tidak suka orang lain memperlakukan saya. Jika saya adalah mereka, mungkin saya akan merasa khawatir orang-orang akan mencap saya ini itu saat saya memberi tahu status saya, menganggap saya yang tidak-tidak karena bicara HIV & AIDS seringkali sulit bebas nilai.

Sejak ditemukannya, HIV & AIDS tak pernah lepas dari mitos dan isu moralitas. Ini juga yang dialami oleh kawan saya itu. Keluarganya sendiri menolak dia setelah diketahui statusnya. Tak disebutkan apa alasannya kepada saya, tapi saya duga itu karena keluarganya tak punya informasi yang benar soal HIV & AIDS. Tak sedikit keluarga yang melalukan tindakan seperti ini kepada mereka yang terinfeksi HIV, takut tertularlah atau karena mereka yang HIV positif itu dianggap telah melakukan perbuatan-perbuatan melanggar nilai dan norma. Bahkan, orang yang meninggal karena AIDS pun masih saja mendapatkan perlakuan seperti ini. Di Bali misalnya, beberapa kali terjadi jenazah orang yang meninggal karena AIDS ditolak olah warga adat. Padahal menurut kepercayaan Hindu Bali, jenazah harus dimandikan oleh seluruh warga.

Selain mitos bagaimana mudahnya HIV ditularkan, mitos lain yang berkembang juga misalnya HIV & AIDS adalah wabah orang asing, yang padahal, sebagai contoh saja di Bali, turis-turis asing memiliki informasi dan kesadaran yang lebih tinggi tentang HIV & AIDS, terbukti dari kondom yang senantiasa mereka siapkan dan tidak ragu-ragu mengakses layanan terapi rumatan metadhon yang disediakan layanan-layanan kesehatan di Bali. Selain sebagai wabah orang asing, masyarakat masih juga memandang HIV & AIDS sebagai wabah para pekerja seks, terutama pekerja seks perempuan. Perempuan yang terinfeksi HIV, apapun penyebabnya, kemudian mendapatkan cap negatif sebagai perempuan ‘nakal’, sementara perempuan yang dianggap ‘baik-baik’ tidak mungkin tertular HIV. Padahal menurut data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional tahun 2010, dari 5.210 kasus AIDS kumulatif pada perempuan, sebanyak 41,4 persennya adalah ibu rumah tangga, sedangkan jumlah kasus pada perempuan pekerja seks sebesar 8,7 persen. Tentu saja, perempuan yang terpaksa menjadi pekerja seks jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang menjadi ibu rumah tangga. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa jumlah laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja seksnya sendiri, yang justru jarang sekali mendapatkan cap negatif karena perilakunya itu dianggap lebih ‘lumrah’ dalam masyarakat.

Mitos-mitos seperti ini juga acapkali diperkuat oleh pemberitaan yang kurang berimbang dan penyajian data tanpa penjelasan lebih dalam. Misalnya saja, banyaknya kasus HIV di kalangan orang muda yang disajikan ‘seadanya’ tanpa keterangan lebih jelas, dapat membentuk opini masyarakat bahwa HIV & AIDS adalah hanya masalah orang muda, yang seringkali dianggap berjiwa ‘pemberontak’, suka mendobrak tabu-tabu sosial. Padahal jika kita telusuri, angka tersebut mungkin justru menggambarkan kesadaran orang-orang muda ini untuk melakukan tes HIV dan bagaimana program-program HIV & AIDS yang ada selama ini lebih banyak menyasar kelompok usia ini.

Usia muda, perempuan dan HIV positif. Secara parsial saja sudah dipenuhi label-label tak mengenakkan. Bayangkan jika ketiganya tersandang pada diri kita. Kawan saya, ia perempuan dan terinfeksi HIV pada usia yang masih sangat muda, lalu mendedikasikan dirinya pada isu HIV & AIDS dengan mengaktifkan kelompok dukungan sebaya bagi perempuan-perempuan yang terinfeksi HIV bersama kawan-kawan lain. Ada rasa bahagia saat saya melihat banyaknya kelompok-kelompok dukungan sebaya seperti itu, apalagi ada pula yang diinisiasi justru oleh keluarga orang yang terinfeksi HIV seperti yang ada di Singaraja, dan ada yang mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat sekitar seperti yang ada di Jembrana. Meskipun keduanya berada di Bali, saya percaya masih ada dan akan lebih banyak lagi kelompok-kelompok seperti itu dari Sabang hingga Merauke. Juga hal yang sangat menggembirakan ketika lebih banyak anak muda yang peduli pada isu HIV & AIDS, tidak menelan mentah-mentah mitos yang beredar di masyarakat dan tak ragu berkawan dengan orang-orang yang terinfeksi HIV.

Kita tak mungkin hanya menunggu waktu untuk menjawab persoalan HIV & AIDS sekarang ini. Membutuhkan proses dan usaha keras agar masyarakat terbebas dari mitos-mitos menyesatkan, mendapatkan informasi yang benar dan bersikap serta berperilaku dengan tepat. Proses dan usaha keras telah dilakukan kawan saya itu, yang perempuan dan terinfeksi HIV pada usia muda, yang berhasil melawan mitos yang terinternalisasi dalam dirinya, yang menjadikannya seperti sekarang. Proses yang mungkin masih sedang dilalui oleh dua perempuan yang masuk ke ruangan di siang itu.

4 komentar:

  1. itu memng benar yang anda tuliskan

    BalasHapus
  2. @swan inn: itu nanya ya? hehe.. itu based on pengalaman saya

    BalasHapus
  3. Senang membaca tulisan ini. Semoga pengalaman bertemu ODHIV dan para aktivis di Bali bulan Desember bisa memperluas wawasan mengenai HIV ya, dan tetap terus menulis ya :-)

    BalasHapus
  4. Terima kasih, Mas Danny! =) Semoga bisa bertemu dan sharing pengalaman lagi

    BalasHapus