Semingguan lalu saya mendapatkan berita yang sangat mengejutkan. Saya baru saja sampai di kantor ketika saya menerima pesan singkat, "Si A meninggal tadi pagi". Segera saya telepon kawan saya untuk memastikan, ternyata benar. A adalah teman saya, tidak hanya satu kampus, tapi juga sempat satu organisasi. Kepergiannya mendadak, tak ada berita dia sakit sebelumnya. Teman yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri.
Dua hari lalu, organisasi kami menggelar acara semacam pengajian untuk almarhum. Saya bilang itu semacam pengajian karena memang bukan tahlilan seperti yang biasa dilakukan umat muslim saat ada yang meninggal. Di awal acara, memang seorang ustadz memimpin kami berdoa dalam cara Islam, setelah itu salah satu senior di organisasi memimpin doa dengan cara Kristen. Indah rasanya kami bisa duduk bersamaan, berdoa dengan cara kami masing-masing. Selepas berdoa, kami dipersilakan untuk menceritakan kenangan yang diingat saat almarhum masih hidup. Tidak semua orang yang hadir melakukannya, mengingat waktu juga yang sangat terbatas. Tapi beruntung saya kebagian. Sedikit lega rasanya, bisa mengeluarkan apa yang saya simpan.
Saya ceritakan bagaimana saya dan almarhum bisa kenal lalu bekerja dalam satu tim. Saya belajar banyak darinya. Saya juga sampaikan penyesalan saya karena tidak melakukan apa yang bisa saya lakukan, meskipun sebetulnya saya mampu, kalau saya benar-benar mau. Ya, beberapa bulan sebelumnya, saya dan beberapa teman lain melihat ada gelagat yang tidak biasa dari almarhum. Walau saya mengenalnya sebagai pribadi yang ceria dan penuh semangat, senang becanda dan kalau tertawa kencangnya minta ampun. Tapi energi yang ia keluarkan akhir-akhir itu terasa aneh. Bikin orang kelabakan, sekaligus bertanya-tanya, "Ada apa dengan dia?"
Saya dan beberapa teman pernah bertanya langsung padanya, tapi selalu ia jawab ia sedang bersemangat, sambil sesekali bilang, "Aku akan mati muda". Sungguh, saat itu saya hanya menganggap kalimatnya itu sebagai caranya mengekspresikan semangat yang ia sendiri tak bisa bendung. Karena kejadiannya bertepatan dengan masa menjelang pernikahannya, saya dan teman-teman mengambil kesimpulan, mungkin itu hanya stres pra pernikahan. Ya namanya nikah, pasti banyak kan yang mesti diurus. Apalagi setelah ia menikah, saya sempat bertemu sekali dan ia terlihat lebih tenang. Semakin saya yakin dengan kesimpulan itu. Ternyata saya keliru besar.
Saya sadar satu hari setelah saya pergi melayat, saya whatsapp-an dengan seorang teman yang bilang kalau justru kalau seseorang yang biasanya bersemangat, sangat bersemangat, tiba-tiba tampak begitu tenang, mungkin ada sesuatu yang sedang ia pendam sendiri. Sial! saya lalai! Saya merasa bodoh, belajar ilmu kejiwaan tapi tidak bisa mempraktekkan. Saya merasa jahat, karena tidak menjadi teman baik untuknya. Itu penyesalan saya.
Niat saya untuk mengajaknya bicara secara serius, sekedar menanyakan apa yang sebetulnya sedang ia rasakan dan mungkin bisa saya bantu, tidak pernah saya lakukan. Alasan saya selalu saja karena belum ada moment yang pas, padahal moment itu sebetulnya bisa saya ciptakan. Setelah ia menikah, semakin saya mengurungkan niat untuk mengajaknya bicara.
Penyesalan memang tidak ada gunanya. Teman saya tidak akan pernah kembali. Tapi saya telah mengambil pelajaran yang luar biasa besar dari kejadian itu. Tidak ada salahnya menjadi lebih peka pada kondisi teman-teman kita. Mungkin kita tidak bisa menolong banyak, namun menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh-kesah seorang teman bisa membantu mengurangi bebannya sedikit.
Selamat tinggal, kawan! Terima kasih telah mengajarkan saya sebuah arti ketulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar