Sudah satu bulan saya bergabung dengan sekelompok orang muda kreatif di bisnis branding. Ya, saya bilang sekelompok orang muda karena tiba-tiba saya merasa tua di sana haha... Dan ya, kali ini saya 'beneran' menyelam di dunia bisnis, yang dikelola dengan cukup profesional. Wuis... kata terakhirnya ngeri ya? Profesional! Profesionalitas di mata saya bukan soal berbaju rapi, lengkap dengan dasi dan sepatu kulit mengkilap, menenteng macbook dan bicara bahasa alien. Karena kalau itu yang dimaksud, terima kasih selamat malam. Saya masih enggan meninggalkan kaos-kaos dan kets butut saya.
Saya mengartikan profesional di sini adalah saat apa yang kita kerjakan mendapatkan penghargaan dan kita melakukan apa yang memang sanggup kita lakukan, sesuai dengan posisi kita. Sesuai dengan peran kita.
Nah, ruang saya untuk berkreasi yang baru itu punya suasana yang asyik. Selain sering makan bersama (paling sering makan soto yang lewat tiap siang), kami juga sering ngobrol ngalor-ngidul. Dari mulai proyek, desain, perklenikan, hal-hal pribadi, sampai ngomongin seleb politikus dan seleb dunia maya. Kebetulan juga, kami memiliki titik-titik perjumpaan lain seperti rewo-rewo di aktivitas sosial yang sama, ternyata temannya atau saudaranya teman, dan sebagainya. Beberapa obrolan, atau tepatnya rumpian, membuat saya semakin yakin soal dimana saya sebaiknya berada.
Bukan sekali dua kali saya bertemu dan kadang harus bekerja dengan orang yang tidak paham dengan perannya. Bahkan saya juga pernah ada di posisi itu. Saya sendiri sih ngerasanya gak karuan. Saat saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan akhirnya melakukan hal-hal yang seharusnya tidak saya lakukan. Kalau di dunia kerja, ya istilahnya tidak sesuai job desk (atau memang job desk-nya yang nggak jelas?). Saya boleh bangga pada diri saya sendiri karena saya berani memutuskan untuk berhenti. Risikonya jelas ada, saya tahu dan luar biasa khawatir melihat masa depan saya. Tapi toh, saya kembali berbincang dengan diri saya sendiri, soal apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup.
Jika beberapa orang menjalankan peran sesuai dengan posisinya, mungkin saya, saat ini, termasuk orang yang sedang mencoba kebalikannya. Mencari posisi yang sesuai dengan peran saya. Kemarin-kemarin saya sempat mengirim lamaran ke beberapa lembaga, saya sadar, saya sangat selektif. Ketemu satu saja job desk yang nggak-gue-banget, langsung saya drop. Beberapa posisi yang dulu-dulu saya inginkan tiba-tiba menjadi tidak menarik lagi buat saya (dan saya juga tidak menarik buat posisi itu hahaha...). Ada juga tawaran dari beberapa kenalan, posisi yang lumayan, tapi saya tolak dengan halus. Mungkin saya dikira nggaya atau apalah. Terserah. Yang pasti, saya mulai tahu kapasitas saya, saya mulai paham peran saya. Soal ternyata nantinya di luar apa yang saya kira, itu urusan lain. Yang penting, saya sudah, sedang dan masih akan belajar tentang diri saya.
Soal peran itu, saya menganalogikan dengan proses pembuatan film. Ada sutradara, ada camera-person, ada aktris dan aktor, ada produser, penulis naskah, penata lampu, casting director, editor, penata lampu, penata rias, kostum, dan sebagainya. Memang ada beberapa film yang sutradaranya merangkap produser, ngambil gambar plus ngedit pula. Atau nyutradarain tapi jadi pemain juga. Tergantung genre, kelas dan keseriusan filmnya. Tapi coba tengok film-film yang mendapat penghargaan, film-film yang nembus box-office dan film-film yang berkualitas. Ada berapa kepala manusia di belakangnya? Setiap kepala itu menjalankan peran sesuai dengan posisinya masing-masing. Camera-person ya perannya ambil gambar, nggak tau-tau jadi pemeran pembantu, lha terus siapa yang ngambil gambar? Penata lampu ya perannya ngatur cahaya, nggak ujug-ujug milihin kostum yang pas buat tokoh utama. Hasilnya? Ya kalaupun nggak dapat penghargaan, nggak nembus box-office dan kurang berkualitas, tapi setidaknya jadi film beneran tho?
Dalam cerita film pun demikian. Anne Hathaway yang kebagian peran sebagai Fantine dalam Les Miserables, misalnya, ya memainkan perannya sebagai Fantine secara maksimal, sampai rela potong rambut pendek. Sedangkan Hugh Jackman yang kebagian peran sebagai Jean Valjean, ya jungkir baliklah dia sampai bisa menjiwai tokohnya itu, nggak mlipir-mlipir jadi tokoh Javert yang diperankan Russell Crowe. Sekalipun Mbak Anne dan Mas Jackman ini, misalnya, sangat menyukai kegilaan dan kenyentrikan pasangan Thernadier (Sascha Baron dan Helena Bonham), nggak profesional namanya kalau mereka memasukan unsur nyentrik Thernadier dalam peran Fantine dan Jean Valjean. Karena mereka sudah punya perannya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar