Kemarin malam saya nonton Batman the Dark Knight Rises di salah satu mall yang menurut saya paling wah di Jakarta. Alasannya bukan buat gaya-gayaan, apalagi nyambi shopping di sana. Kawan saya merekomendasikan tempat nongkrong yang asyik di lantai 3, café di sebuah toko buku terkenal dengan pemandangan langsung ke Bundaran HI. Saya yang sedang belajar motret, tertarik juga buat menjajal kamera saya (bukan kemampuan saya hehe…). Dan karena saya dan kawan saya itu adalah partner buat ke bioskop, jadilah agenda menonton masuk dalam list weekend kami.
Tak heran kalau malam minggu bioskop pasti penuh. Saya dan kawan saya mendapatkan tempat duduk terpisah. Lebih baik daripada mengambil kursi di deret paling depan, dengan resiko pegal leher. Kebetulan di samping kanan saya adalah pasangan muda istri suami dengan anak mereka yang umurnya belum ada 1 tahun. Ya! Benar sekali. Kenapa tidak sekalian saja si orang tua ngajak anaknya nonton The Raid, Hannibal atau Sex and the City? Di tengah-tengah film yang durasinya seakan menyaingi film Bollywood itu, si anak merengek-rengek, mungkin bosan, sang ayah lalu mengeluarkan handphonenya dan membiarkan si anak bermain-main dengan handphonenya tersebut. Sang orang tua tenang melanjutkan menonton aksi Batman.
Betul, kali ini saya ingin sedikit berbagi tentang isu anak. Saya memang belum punya anak. Niat ada, tapi belum kesampaian. Punya anak itu sepertinya menyenangkan (dan merepotkan ya, bapak dan ibu?). Hanya saja, saya memperhatikan orang-orang di sekitar saya bagaimana mereka mendidik dan memperlakukan mereka. Masih di mall yang sama, saat saya makan malam, di meja depan saya, seorang bapak memarahi anak perempuannya yang berumur 5 atau 6 tahun yang tidak mau membagi rotinya kepada sang adik. Cara memarahinya seperti orang yang berbisik mengajak tinju, sampai si anak dengan diam takut-takut akhirnya merelakan juga rotinya dibagi dengan si adik. Juga, seorang ibu yang tangannya ditarik-tarik oleh anak lelakinya yang meskipun si ibu terus-terusan bilang, “Nggak, jangan ke sana… Nggak, jangan ke sana…” tapi kakinya menurut juga mengikuti kehendak si anak. Juga, saat saya menghentikan niat untuk merokok karena ada anak kecil di sekitar saya, justru seorang bapak dengan giat membakar tembakau di depan anak bayinya. Dan… setiap hari tetangga saya tak pernah alpa membentak anak-anaknya, kadang dengan kata-kata ‘Goblok’, ‘Bego’. Saya cuma bisa elus dada.
Sebagai orang yang belum punya anak, saya tidak bisa memberikan saran bagaimana cara memperlakukan anak. Pelajaran hanya saya dapat dari bagaimana orang tua mengasuh saya dan saat kuliah Psikologi Perkembangan. Saya juga bukan hakim yang bisa menyalahkan perlakuan orang tua di bioskop, di tempat makan dan yang tetangga saya itu. Kalau saya mengharapkan anak saya nanti akan menjadi orang yang cerdas, kritis dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, mungkin harapan orang tua-orang tua itu berbeda dengan saya.
Akan seperti apa anak kita nanti tergantung dari bagaimana kita membesarkan mereka. Menurut cerita kawan-kawan saya, anak lebih mudah belajar dengan cara melihat dan meniru. Buang-buang waktu jika kita meminta anak kita berbicara pelan kalau tiap kali kita bicara seperti pakai toa. Satu hal lagi, penerapan hukuman dan penghargaan. Hukuman bukan berarti memarahi atau memotong uang jajan anak, ada banyak cara untuk melakukannya seperti mendudukannya di kursi dan mengajaknya bicara, mendiskusikan apa konsekuensi dari perbuatannya. Penghargaan juga bukan berarti permen dan video game terbaru. Anak kita bukan robot. Sentuhan, pelukan dan kata-kata pujian jauh lebih berharga bagi mereka kelak.
Tanggung jawab membesarkan anak memang tanggung jawab orang tua. Tapi prakteknya, lingkungan sosial juga memberikan kontribusi tidak sedikit pada perkembangan anak. Kawan saya di kantor misalnya, menceritakan anak perempuan 5 tahunnya tahu-tahu sudah bergaya bak tokoh antagonis remaja SMA yang suka mengina orang lain. Ya, korban sinetron. Itu baru satu faktor: televisi. Untuk hal-hal seperti televisi, majalah, internet atau sekolah, orang tua memang dituntut untuk selalu melakukan pengawasan. Tapi bagaimana jika yang ‘salah’ adalah program-program yang secara sembrono ditawarkan media massa untuk anak hanya karena filmnya animasi dengan melupakan esensi, atau anak-anak ‘dipaksa’ menonton dan akhirnya hapal lagu-lagu tentang jatuh cinta dan patah hati? Aturan dari pemerintah soal jam tayang televisi dan muatan program, sepertinya belum serius dilakukan. Bagaimana juga jika sistem pendidikan yang ada sekarang justru hanya mendorong siswa-siswanya untuk mampu bersaing dan berprestasi di bidang akademik saja? Banyaknya kasus tawuran yang dilakukan pelajar, misalnya, mungkin bisa menjadi satu pertanyaan besar: siapa/ apa yang bertanggung jawab?
Baiklah, untuk menutup tulisan saya kali ini, saya ingin sedikit berandai-andai jika saya menjadi seorang konsultan untuk orang tua yang menginginkan anak-anaknya seperti apa. Sengaja, tidak saya tuliskan harapan saya pribadi. Saya hanya merefleksikan dan mendramatisir apa yang saya lihat. Kalau yang ingin serius dan betulan, silakan googling, sudah banyak sumber tersedia tentang bagaimana cara mendidik dan membesarkan anak. Sok-sokan saja saya, toh di luar sana juga banyak yang sok-sokan punya anak tapi nyatanya tampak tidak siap secara mental. Berikut saran-saran saya kalau anda ingin anak anda seperti:
- Giant. Tahu tokoh ini dalam Doraemon kan? Nah, kalau kita ingin anak anda seperti Giant yang tidak bisa mengendalikan amarahnya dan senang mengintimidasi kawan-kawannya, belajarlah dari ibunya yang tidak pernah tersenyum, selalu berteriak dan selalu siaga gagang sapu di tangannya untuk memukul Giant. Masih kurang? Suguhkan film-film dan video game berbau kekerasan.
- Barbie dan Ken. Siapa yang tak ingin anaknya tumbuh menjadi sosok yang menawan secara fisik dan populer? Kalau memang ‘hanya’ itu yang anda inginkan dari anak anda, segera masukan mereka ke kelas model. Sudah banyak kursus model untuk anak-anak. Ikutsertakan dalam setiap perlombaan. Belikan mereka baju-baju bagus setiap hari dan larang untuk bermain di tanah atau bergaul dengan anak-anak yang menurut anda tidak pantas menjadi teman mereka. Usahakan anda juga selalu tampil modis kapan dan dimanapun.
- Garfield. Antar jemput anak anda setiap hari, ingat, jangan sampai terlambat. Berikan apapun yang dia inginkan. Pastikan persediaan makanan selalu berlimpah, karena cukup saja tidak cukup. Mungkin perlu juga dua orang babysitter yang mengganti baju dan sepatunya, juga mengerjakan PR sekolah. Jika perlu, pindahkan Timezone ke kamar anak anda sehingga ia tidak perlu capek-capek keluar rumah. Garfield yang bulat dan pemalas memang menggemaskan, tapi dia kucing.
Mau mencoba atau menambahkan berdasarkan pengalaman? Silakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar