10 Juli 2012
Mengintip Masa Lalu Lewat Djam Malam
“Orang yang tidak bisa melupakan kelampauan, maka akan hancur orang itu”
Kalimat yang diucapkan Gafar, salah satu tokoh dalam film Lewat Djam Malam, muncul di penggalan menuju akhir film, saat sang tokoh utama, Iskandar, datang ke rumahnya setelah membunuh Gunawan. Di mata Gafar, apa yang dilakukan Iskandar adalah karena Iskandar selalu dibayang-bayangi masa lalu, masa revolusi, saat Iskandar yang masih menjadi pejuang diperintahkan oleh Gunawan, atasannya, untuk membunuh satu keluarga yang dituduh sebagai pengkhianat revolusi, meskipun tak ada bukti.
Alur filmnya lambat. Dengan durasi 106 menit, cerita berputar hanya dalam dua hari kehidupan Iskandar, hubungannya dengan sang tunangan, Norma, keluarga Norma, pekerjaan baru yang ditawarkan ayah Norma, pertemuannya dengan kawan-kawan seperjuangannya dulu dan paling penting adalah bagaimana ia harus menghadapi perasaan bersalahnya di tengah proses adaptasinya dengan masa berakhirnya perjuangan.
Well, saya bukan kritikus film dan sinematografer, jadi saya tidak akan membahas bagaimana film yang diproduksi pada 1954 itu dari sisi perfilman. Yang menarik bagi saya adalah bagaimana film tersebut memotret kehidupan di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun, film, dan juga seni karya yang lain, pastilah mewakili jamannya masing-masing. Maka kalimat Gafar yang saya tulis di awal itu, saya simpulkan hanya berlaku bagi kelampauan-kelampauan yang pahit. Masih banyak hal-hal lain dari masa lalu yang bisa, dan seharusnya bisa, dijadikan pembelajaran bagi kita.
Pertama, yang menarik bagi saya adalah para pemain film tersebut, terutama para pemain perempuan. Kenapa mereka menjadi sorotan saya? Jika saya berasumsi mereka hidup di masa kini dan tetap menjadi pemain film, kemungkinan besar mereka tidak akan mendapatkan peran penting. Alasannya karena mereka tidak memenuhi kriteria ‘perempuan ideal’ masa kini. Ini menunjukkan bahwa konsep ‘ideal’ tidak pernah kekal. Ia selalu berubah-ubah sepanjang masa. Lalu siapa yang mengubah konsep-konsep tersebut? Kita. Kita yang mana?
Selalu ada orang-orang yang memulai mengubah konsep cantik pada setiap eranya yang lalu dijadikan konsensus oleh banyak orang. Berkat teknologi media yang luar biasa dan, tentu saja, motif keuntungan, konsep cantik tersebut diproduksi berulang-ulang. Ya, bisa jadi Lewat Djam Malam telah juga mereproduksi konsep cantik bagi perempuan di masa itu yaitu perempuan yang lembut, bertubuh sintal, rambut gelungan. Film menangkap apa yang sedang disenangi oleh masyarakat dan kembali menunjukkannya kepada masyarakat sehingga munculah trend. Trend 70-an tentu berbeda berbeda dengan trend di tahun 20-an dan 1800-an. Beberapa kelompok masyarakat mempertahankan konsep-konsep kecantikan yang bagi sebagian orang yang merasa modern justru terlihat aneh. Misalnya, di Mauritania perempuan yang cantik adalah yang berbadan besar, di Mursi (Afrika) perempuan cantik adalah yang berbibir dengan liang besar. Suku Kayan di Thailand menganggap semakin tinggi leher, semakin cantiklah perempuan, serupa seperti yang ditemukan pada suku Dayak di Kalimantan yang menganggap perempuan cantik adalah perempuan dengan telinga paling menjuntai.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan dua hal, pertama, karena absennya media modern dalam komunitas mereka, konsep kecantikan yang mereka yakini tidak banyak berubah. Bedakan dengan masyarakat yang tiap hari diterjang media yang hampir setiap dekade berubah konsep kecantikannya. Saya masih ingat waktu adik saya masih SD dulu, dia merajuk-rajuk minta di-reboonding rambut keritingnya. Padahal sekarang, model iklan shampoo tidak semuanya berambut lurus (meskipun yang lurus panjang masih mendominasi). Contoh-contoh di atas juga menunjukkan bahwa konsep kecantikan hamper selalu dilekatkan pada perempuan yang ujung-ujungnya perempuan yang harus ‘mati-matian’ agar bisa memenuhi standar ideal. Saya tidak bisa bayangkan kalau saya ini perempuan Mursi yang harus mengganjal bibir saya dengan piring agar tampil menarik!
Ok, selesai dulu bicara soal konsep kecantikan. Ada hal lain yang juga menarik dari kehidupan di era 50-an. Meskipun di masanya pesta dan gaun cantik yang dikenakan perempuan-perempuan sudah dikategorikan sebagai kemewahan, di mata saya justru tampak sederhana. Ya, konsep mewah dan sederhana juga agaknya berubah-ubah dan sangat subjektif. Pada pesta yang digelar Norma untuk menyambut kedatangan kekasihnya, Iskandar, tampak muda-mudi dengan riang bernyanyi, berbalas pantun dan menari bersama. Coba saja sekarang anda undang teman-teman ke rumah untuk pesta, apa masih bisa hanya mengandalkan lagu dan dansa dalam daftar acara pesta? Oh, maaf, mengundang pesta ke rumah? Lebih baik reservasi di restoran, hotel atau café!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
wah belom nonton filmnya. :/
BalasHapuskarena cantik itu relatif, dan definisi cantik yang ada sekarang itu tergantung kesepakatan banyak orang yang akan berubah terus dan tentunya dipengaruhi media juga.
20 tahun lagi, definisi perempuan cantik jadi kayak gimana ya?
ayo ditonton =)
Hapusgimana kalau kita mulai bikin konsep kecantikan buat 20 tahun ke depan? hehe...