Pada tahun 2006, di Indonesia, tepatnya Yogyakarta, sekelompok ahli Hak Azasi Manusia dari 25 negara telah membuat rancangan, mengembangkan, mendiskusikan, dan menghasilkan prinsip-prinsip mengenai hak azasi manusia yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender. Terdapat 29 prinsip yang didalamnya juga memuat kewajiban negara untuk menjamin keamanan, kebebasan, dan kenyamanan mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender di luar main stream, dan 16 rekomendasi tambahan.
Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu tentang prinsip-prinsip ini, termasuk kaum LGBTQI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Transseksual, Queer, Interseks) sendiri. Dalam hal ini, patut dipertanyakan apakah negara sudah memegang dan memahami Yogyakarta Principles? Jika belum, lantas rekomendasi yang sudah disusun oleh para ahli tersebut sekarang sudah sampai mana? Namun jika sudah, mengapa negara tidak mensosialisasikannya pada warganya, minimal pada para aparat pemerintah? Mengapa perda-perda di beberapa daerah, yang sangat diskriminatif terhadap homoseksual, dibiarkan begitu saja oleh pemerintah pusat dengan dalih otonomi daerah?
Saya berikan contoh beberapa perda diskriminatif tersebut:
- Peraturan Daerah Kota Batam No. 6 Tahun 2002 tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam, Bab III Tertib Susila, Pasal 9 “Setiap orang atau badan dilarang membentuk dan atau mengadakan perkumpulan yang mengarah kepada perbuatan asusila dan secara normatif tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat”. Penjelasan : Perkumpulan dimaksud dalam ayat ini misalnya perkumpulan atau organisasi kaum lesbian, homosex (gay) dan sejenisnya
- Peraturan Daerah Kota Pelembang No. 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, Pasal 8 “Pelacuran adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar, bertujuan mencari kepuasan syahwat diluar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah : a. homoseks; b. lesbian; c. sodomi; d. pelecehan seksual; dan; e. perbuatan porno lainnya”
- Peraturan daerah Propinsi Sumatra Selatan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatra Selatan, Bab II Penamaan dan Bentuk Maksiat (1) Termasuk perbuatan maksiat, segala perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat selain yang diatur dalam norma-norma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti: c. homoseks; d.lesbian”
Pemerintah Indonesia, seperti yang kita tahu, tidak memberikan ruang bagi mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas seksual -yang secara statistik- minoritas. Dalam hal ini, negara telah melanggar hak asasi manusia komunitas LGBTQI. Hatib Abdul Kadir, dalam bukunya Tangan Kuasa dalam Kelamin (Insist, 2007) memaparkan tiga arus kekuasaan utama yang mempengaruhi pola pemerintahan Indonesia dalam memandang keberagaman seksualitas (baca: LGBTQI). Pertama, kekuasaan agama. Sebagai negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia, Indonesia mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui, ajaran Islam (yang terkontaminasi budaya Arab) menunjukkan nilai-nilainya mengenai seksualitas: kontrol tubuh, patriarki, virginitas, pro kreasi, heteroseksual, dan fungsi kekerabatan. Jika tiba-tiba pemerintah mengakui pernikahan sesama jenis misalnya, sudah bisa kita tebak bagaimana reaksi kebanyakan warga negara, terutama para fundamentalis.
Kekuatan kedua adalah kaum kolonial yang memperkenalkan kapitalisme. Semangat Glory, Gold, dan Gospel yang didengungkan para imperialis juga tidak luput membawa ajaran Kristen dengan sistem moral yang mengharamkan homoseksualitas karena dianggap tidak bermoral. Sementara dalam kacamata kapitalisme, homoseksualitas jelas tidak menguntungkan bagi penyediaan sumber daya manusia untuk melanggengkan proses produksi. Keluarga (dalam hal ini keluarga heteroseks) kemudian mempunyai kepentingan besar dan membawa stabilitas bagi tingkat konsumsi.
Kekuatan ketiga adalah ilmu pengetahuan. Pada awal abad 19, saat ilmu kedokteran dan psikologi positivistik berkembang, seksualitas dikerangkakan dalam kotak normal dan abnormal berdasarkan penelitian yang dilakukan, homoseksualitas dan sejumlah perilaku seksual dikategorikan patologis. Belum lagi isu HIV-AIDS yang sering dikaitkan dengan LGBTQI.
Ilmu pengetahuan ternyata kurang popouler di mata politikus. Karena, meskipun pada abad 20, psikologi dan psikiatri telah merevisi bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan jiwa, namun cara pandang pemerintah terhadap seksualitas “yang berbeda” tidak berubah (masih ingat bagaimana kampanye para calon presiden tahun 2004 yang tidak ada satu pun bersikap toleran terhadap homoseksual) stigma bahwa kaum homoseksual merupakan orang menyimpang masih banyak ditemukan di masyarakat. Setidaknya hal ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi acuan para penentu kebijakan. Satu hal yang patut disayangkan, penelaahan terhadap ajaran agama secara lebih mendalam dan terbuka, tidak mereka lakukan. Kebijakan akhirnya muncul sebagai produk pengontrol moral –yang disesuaikan dengan agama tertentu yang paling berkuasa, menginjak kemajemukan dan memberikan kepuasan bagi sebagian yang lain- seperti perda-perda diskriminatif tersebut, perda-perda larangan pelacuran, RUU APP, RUU ITE, UU Perkawinan, dan sebagainya. Seksualitas yang hakikinya urusan individu, telah dikontrol sedemikian rupa oleh negara.
Yogyakarta Principles bisa anda download dari official websitenya, tersedia dalam beberapa bahasa (Inggris, Spanyol, Arab, Cina, Perancis dan Rusia) untuk versi Indonesia, anda bisa mengunduh dari komnas perempuan dalam bentuk pdf. Buat anda yang suka komik, anda bisa berterima kasih kepada Institut Pelangi Perempuan yang telah membuat komiknya! Langsung dibuka saja di sini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar