Keluarga saya tidak pernah merayakan Natal. Tapi Natal selalu menorehkan kesan bagi saya, sisa-sisa kenangan masa kecil yang terus saya pelihara sampai sekarang. Alasan saya dulu suka Natal sangatlah sederhana, banyak film bagus yang berlatar atau bercerita tentang Natal dan dekorasi perayaan Natal yang indah.
Oh, tidak. Tak usah terburu-buru menuduh saya terobsesi dengan ajaran Nasrani, toh kegilaan saya pada film, lagu dan suasana Natal tidak menjadikan saya Protestan atau Katolik, pun sampai sekarang. Plus, dalam putaran waktu yang sama itu pula saya sangat tertarik dengan dewi-dewa dari jaman Yunani Kuno. Dan saya tidak lantas menjadi penyembah Zeus.
Saat SD, hanya satu teman saya yang merayakan Natal. Entah sejak kelas berapa saya mulai dengar doktrin haram hukumnya mengucapkan Natal. Tapi bukan dari keluarga saya larangan itu muncul. Saya yakin orang tua saya sedikit terbuka untuk hal itu, Bapak yang cenderung bablas melemparkan kritik terhadap agama dan Ibu yang, saat itu, punya bisnis yang memungkinkan dia terkoneksi dengan baik dengan orang dari latar beragam. Selain teman sekelas, saya punya sahabat pena yang juga merayakan Natal. Menulikan telinga sendiri dari doktrin haram, saya kecil berpegang pada satu ajaran, 'segala sesuatu tergantung dari niatnya'. Niat saya memberikan selamat atas kebahagiaan yang sedang mereka cecap. Itu saja.
Itu berarti sekitar dua puluh tahun lalu.
Ealaaah... kok ya sekarang ramai lagi itu isu haram-haraman mengucapkan Selamat Natal. Saya masih saja gagal paham dengan cara berpikirnya.
Kalau keharamannya itu berbasis kekhawatiran akan menyerupai orang yang merayakan Natal, dan itu dianggap dosa besar, saya yang masih kecil itu saja bisa kok ya berprinsip yang penting niatnya. Lagipula, logikanya membingungkan buat otak mini saya. Lha kalau dengan mengucapkan selamat saja akan membuat saya seperti orang yang diselamati, saya bakal kumpulkan orang-orang hebat dan saya ucapkan selamat satu per satu biar saya ketularan jadi hebat. Ucapan selamat dari lubuk hati paling dalam akan saya alamatkan kepada para ibu yang baru melahirkan bayi karena saya mau juga tetiba punya bayi.
Pertanyaan saya justru, itu kekhawatiran atau ketakutan? Kalau merasa imannya sudah sekokoh berlapis-lapis beton, masak iya berucap Selamat Natal saja itu iman langsung luntur?
Jika keharamannya didasarkan karena mereka yang merayakan Natal itu dianggap musuh, maka sungguh tak pantas ikut berbahagia atas kebahagiaan musuh... Ehm... Kalau untuk itu, saya angkat tangan. Kalau bermusuhan boro-boro mau saling menyapa. Tak ada kontak, tak usah bersentuhan! Apalagi bertransaksi, tertutup semua pintu. Ogah pakai celana jeans, pakai shampoo atau deterjen, dan segera ganti nama karena nama lahirnya dirasa terlalu berbau 'kafir'. Tolong itu laptop segera dijual saja, karena ia tidak diciptakan di Tanah Arab dan huruf yang dipakainya juga Latin, apalagi yang jual juga juragan Glodok. Tolong itu akun Facebook dan Twitter ditutup saja, karena pencipta dan yang membuatnya heboh itu mereka yang tidak bisa baca alif-ba-ta. Eh? Tambah lagi, lebih musuh mana sih orang yang merayakan Natal atau yang korupsinya trilyunan?
Realitanya, kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Banyak hal yang tidak bisa kita penuhi sendiri, dan tidak menutup kemungkinan kita akan membutuhkan pertolongan dari orang yang bersuka ria atas lahirnya Isa Al-Masih. Pun demikian sebaliknya. Bukankah terdengar lebih indah jika kita hidup damai berdampingan dan saling berbahagia atas kebahagiaan teman dan tetangga kita? Kecuali anda lebih senang hidup hanya bersama orang-orang yang meyakini hal yang sama dengan anda, silakan pertimbangkan untuk mengooptasi salah satu satelitnya Saturnus. Tapi tolong, berangkatlah dengan teknologi dari tempat dimana anda yakin ajaran anda berasal.
Saya pribadi, lebih memilih tetap tinggal di Bumi, bersama teman dan sahabat yang bisa saya percaya, tak peduli apakah mereka menyembah Wisnu, menapaki ajaran Sidharta, mengimani Yahweh, memuja ilmu pengetahuan atau merayakan Natal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar