Mendung sudah menggelayut di langit Jogja, tapi tidak menghentikan niat saya meskipun mantel hujan tertinggal menggantung di kawat jemuran. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengambil beberapa foto sudut-sudut kota Jogja yang dipenuhi karya pekerja seni jalanan: mural, grafiti atau apapun namanya. Beberapa pernah saya ambil pas jalan dan pas bawa kamera, tak pernah sengaja. Kali ini tidak.
Dari kos saya di daerah Samirono Baru menuju Tugu tidak banyak 'pemandangan' menarik. Tujuan saya adalah depan Stasiun Tugu. Di seng-seng yang menutupi bangunan yang sedang direnovasi, ada poster yang menarik saya. Tapi sebelum sampai di tujuan, mata saya terhenti pada deretan seng lain yang berjajar hampir 20 meter di Jalan Mangkubumi, tepat setelah gedung salah satu provider seluler. Ini yang saya temukan:
Di kanan kirinya ada juga seni visual jalanan lain, yang, terus terang, agak sulit saya pahami apa maksudnya. Bekas tempelan poster-poster lain yang saya duga poster iklan produk atau promo acara yang disponsori produk ditutupi oleh karya-karya dengan warna kontras. Beberapa memanfaatkan ruang yang masih kosong.
Saya lalu bergerak menuju Jalan Abu Bakar Ali dan menemukan satu mural yang luar biasa. Wajah seorang pemikir hebat yang menemukan rumus E=mc². Ya, saya melihat Einstein terpampang dengan ukuran yang cukup besar dan matanya menatap langsung pada kereta-kereta yang akan segera tiba ke dan baru saja berangkat dari Stasiun Tugu.
Tak berlama-lama, karena sudah mulai gerimis, saya segera beranjak menuju Jembatan Abu Bakar Ali dengan suasana baru. Baru sekitar satu bulanan ada tambahan jembatan di titik ini lengkap dengan lampu bangjo yang membuat pengendara dari Jalan Mangkubumi tidak bisa langsung berbelok ke kanan jika ingin ke Malioboro, tapi harus melewati jembatan baru terlebih dulu. Rel kereta api masih tetap di jalurnya, melintang di atas jembatan tersebut.
Tiang penyangga jembatan kereta tersebut juga tidak luput dari sapuan para pekerja seni. Sayang, yang satu ini ada sponsornya. Selain ada logo sang sponsor, warna yang digunakan pun langsung mengingatkan kita pada produk mereka. Saya baru ngeh kalau di samping jembatan baru ada tangga menurun, menuju bantaran Kali Code. Saat itu saya akan mengambil foto yang berada di dinding dalam ini:
Hujan pun turun. Naluri untuk menyelamatkan diri agar tetap kering dan rasa penasaran, membawa saya menuruni tangga di samping jembatan. Di ujung tangga, ada pagar besi berwarna biru yang menghubungkan pada satu ruangan lapang tepat di bawah jembatan, dengan paving block dan empat deret papan kaca untuk menempel koran. Hmmm... Ini bukan hanya sekedar kolong jembatan. Sekitar empat orang sudah ada di sana, disusul empat orang lainnya yang datang dengan tujuan sama dengan saya, berlindung dari hujan. Seorang laki-laki yang sudah berada di sana sebelum saya, mendekat,
"Mas Angga?"
Saya yang dipanggil kebingungan.
"Ah, pasti nggak ingat aku...," kata si penyapa, membaca raut wajah saya. Kebingungan saya dobel. Pertama, bingung karena dipanggil Angga. Kedua, bingung mengingat-ingat nama si penyapa. Maafkan memori otak saya yang cekak. Saya lebih mudah menghafal wajah daripada nama orang. Saya ingat kalau beberapa kali pernah berjumpa dengannya. Saya juga ingat dia adalah remaja jalanan yang ngamen di Abu Bakar Ali ini. Saya jujur saja,
"Wah, maaf, aku lali tenan jenengmu...," sambil melayangkan senjata maut, senyum penuh rasa bersalah, dan mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan.
Beruntung si penyapa lalu menyebut namanya. Sambil menunggu hujan, kami lantas mengobrol. Tentang kondisi teman-teman remaja jalanan di sana, tentang organisasi yang dulu dia pernah bergabung, tentang orang-orang di dalamnya, tentang kawan-kawan saya di LSM yang bekerja bersama teman-teman remaja jalanan di daerah tersebut. Saya memang bukan orang lapangan (karena itu wajar juga kalau dia tidak begitu hafal nama saya), tapi beberapa kegiatan memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan teman-teman komunitas, termasuk komunitas remaja jalanan.
Jalanan. Yang saya tahu itu adalah daerah yang keras. Sekeras aspal dan kerikil. Saya yang dulu anak rumahan (emang sekarang nggak?) hampir tidak pernah bersentuhan langsung dengan orang-orang yang mengais rupiah di jalanan, bahkan menjadikan jalanan sebagai rumah bagi mereka. Bagi saya dulu, 'hidup kok di jalan?', termasuk dalam memandang seni jalanan, masih berpikir, 'ngotor-ngotori saja!' Sekarang saya berubah. Persentuhan saya dengan remaja jalanan, walaupun tidak intens, membuat saya lebih bisa menghargai pilihan hidup mereka. Membuat saya beranggapan bahwa setiap manusia punya caranya masing-masing untuk mengekspresikan diri, termasuk para pekerja seni jalanan, pengamen atau pekerja seni mural dan grafiti.
Di jalanan, kita bisa mengekspresikan apapun, termasuk kekecewaan kita pada sistem yang tidak berpihak pada yang dilemahkan.
Di jalanan, kita bisa bebas mengutarakan ideologi kita.
Di jalanan, ekspresi tidak dibatasi oleh banyaknya penggemar atau siapa produsernya. Jalanan adalah milik semua orang.
Dan, seperti poster sederhana di bawah ini, dunia tak sepenuhnya terbuka untuk kita. Jalanan seringkali menawarkan solusi untuk itu.
betul. betapa pandangan saya juga berubah, juga karena teman-teman jalanan.. *terharu*
BalasHapusbtw, itu masnya mungkin bocahe azmi :p
Hehe bener. Tapi kita juga ngomongin kamu lho.. #syalalala
Hapusahh. keren! jadi nambah pengen ke Jogja
BalasHapusnumpang lewat ya ^^
terima kasih =) ayo ayo ke Jogja! =)
Hapus