Akhir minggu kemarin saya memfasilitasi satu pelatihan tentang seksualitas. Kami berusaha membongkar isu yang masih sering bikin malu-malu kucing ini dari konsep-konsep besar tentang wacana dan hak asasi manusia sampai ke soal-soal yang personal dan intim. Banyak hal baru yang saya pelajari dari peserta yang usianya muda-muda (dan saya jadi merasa sudah tidak muda lagi hehe...) Satu yang cukup menarik adalah saat ada pertanyaan dari peserta soal kesetiaan. Konteksnya adalah kesetiaan pada pasangan. Memang saat itu, ini tidak didiskusikan panjang lebar, tapi menempel terus di benak saya. Saya menutup diskusi tersebut dengan pernyataan:
"Setia itu kepada komitmen yang telah kita buat."
Ini adalah kalimat teraman untuk menjawab beragamnya tipe-tipe hubungan intim (catat: hubungan intim yang saya maksud bukan hubungan seksual) yang dibuat oleh dua orang (atau lebih) manusia. Nah lho, hubungan kok mirip perumahan pakai tipe-tipe segala? Well, itulah kenyataannya. Saya lalu berkonsultasi dengan Mbah Google, mencoba mencari referensi yang oke soal tipe-tipe hubungan dan tralaaa... saya menemukan dua gambar keren di situs ini. Dua gambar ini mencerminkan beragamnya tipe-tipe hubungan intim yang ada:
Gimana? Anda bisa menemukan tipe hubungan yang mana yang sedang anda miliki sekarang? Ya, kalau dari gambar pertama, ada tiga bola besar: monogami, non-monogami atau selibat. Masing-masing ada turunannya sendiri-sendiri. Monogami misalnya, ada yang dalam bingkai pernikahan, ada juga yang 'teman tapi mesra'. Syaratnya, satu pasangan saja dalam satu periode. Nah, kalau yang non-monogami ini yang lebih beragam tipenya, dari yang paling terkenal dan banyak dibahas seperti open-relationship dan poligami, sampai yang baru saya dengar seperti unicorn (memiliki hubungan dengan dua orang yang berpasangan, walah...).
Setiap orang sah-sah saja memilih untuk punya tipe hubungan seperti apa. Tunggu... saya seperti terdengar sedang menyetujui poligami juga? Nah, saya punya alibi untuk yang satu ini. Tapi sebelum ke sana, mari kita kembali ke soal kesetiaan terlebih dulu.
Setia. Apa kata KBBI?
se·tia a 1 berpegang teguh (pd janji, pendirian, dsb); patuh; taat: bagaimanapun berat tugas yg harus dijalankannya, ia tetap -- melaksanakannya; ia tetap -- memenuhi janjinya; 2 tetap dan teguh hati (dl persahabatan dsb): telah sekian lama suaminya merantau, ia tetap -- menunggu; 3 berpegang teguh (dl pendirian, janji, dsb): walau hujan turun dng lebatnya, ia tetap -- memenuhi janji pergi ke rumah kawannya;
Dari definisi di atas, ternyata saya nggak keliru-keliru amat. Tiga definisi tersebut tidak satupun yang menyebut kata orang atau pasangan, kecuali kalau "dan sebagainya" memberikan juga pilihan untuk itu.
Jadi kalau dari awalnya dalam satu hubungan, dua orang bersepakat untuk berelasi hanya dua orang saja, mereka itu, ya kalau ada satu orang yang selingkuh, berarti sudah tidak setia. Tapi kalau dari awal kedua pasangan bersepakat untuk menjalani open-relationship, ya kalau ada yang sakit hati artinya juga tidak setia pada komitmen yang sudah dibuat bersama. Bukan begitu? Soal selingkuh juga bisa beda artinya bagi setiap orang. Ada yang baru jalan dan makan berdua saja dengan orang lain sudah dianggap selingkuh, ada yang kalau kirim-kiriman SMS mesra dengan orang lain sudah dianggap selingkuh, tapi ada juga yang merasa diselingkuhi kalau pasangannya melakukan aktivitas seksual fisik seperti ciuman, pelukan dan hubungan seksual. Sangat relatif. Itu mengapa saya lebih percaya kalau kesetiaan itu lebih pada komitmen yang telah dibuat. Komitmen itu soal janji. Bukan hanya janji kita pada pasangan, tapi janji pada diri sendiri.
Nah nah... soal komitmen ini yang kadang kurang diperdalam pada fase-fase awal sebuah hubungan intim, terutama pada tipe hubungan monogami. Menyepakati apa yang boleh dan apa yang tidak dalam hubungan, termasuk dalam relasi sosial dengan orang-orang di sekitar. Seringnya, kita terperangkap dalam kondisi ideal yang kita inginkan dan kita terlalu percaya diri kalau pasangan kita juga punya keinginan dan kebutuhan yang sama dengan kita. Halooo... anda akan berelasi intim dengan seseorang yang mungkin anda tidak tahu ia dibesarkan oleh tipe keluarga seperti apa, apa tontonan dan bacaannya waktu dia kecil, bagaimana kawan-kawannya dan lain sebagainya!
Bagusnya sih, soal komitmen ini dikomunikasikan bahkan pada saat kita belum memutuskan akan menjalani hubungan monogami dengan seseorang. Tapi ya, peribahasa cinta itu buta, mungkin jadi kambing hitam dalam hal ini. Tak masalah, pacaran (bagi yang percaya pacaran), bahkan pernikahan, adalah sebuah proses untuk saling mengenal satu sama lain, saling berkomunikasi, mencoba menerima perbedaan-perbedaan dan membuat negosiasi-negosiasi. Lama-lama anda akan tahu juga, pasangan kita suka atau tidak kalau kita lebih sering jalan dengan teman daripada dengannya. Saat pasangan memberikan respon negatif, saat itulah kita bisa membuka lagi ruang diskusi soal komitmen ini.
Idealnya memang orang menjalin hubungan intim dengan orang lain yang punya tipe sama. Bayangkan saja kalau ada pasangan, yang satunya ingin hubungan monogami, sementara pasangannya lebih senang dengan tipe hubungan open-relationship. Itulah gunanya pedekate, menurut saya. Seperti kalau mau beli kucing, disarankan untuk tidak membeli yang di dalam karung.
Oke, sekarang soal poligami. Seperti yang saya bilang, meskipun saya ini sekarang (dulu mungkin tidak hehehe...) pengidap monogami akut, saya mencoba terbuka dengan sekian ragam tipe hubungan, tapi tidak dengan poligami. Persoalannya adalah, pertama kondisi perempuan saat ini yang ketika menjadi istri seseorang 'dipaksa' untuk nrimo alih-alih bisa mengutarakan apa keinginannya dan kondisi laki-laki yang karena patriarki (termasuk dalam penafsiran agama) terbentuk menjadi suami yang punya keputusan 'mutlak' atas keluarganya. Coba tanya pada istri-istri yang diduakan, ditigakan atau diempatkan, apakah benar-benar rela melepaskan suaminya begitu saja memperistri perempuan-perempuan lain? Jika, kondisinya bisa diubah, perempuan lebih setara dengan laki-laki, saya mungkin bisa lebih toleran soal poligami ini.
Persoalan kedua adalah, saya ingin mempertanyakan saat si suami mengikrarkan janjinya di depan penghulu atau saat melamar si calon istri. Bagaimana komitmennya? Apakah memang dari awal sudah berkomitmen pada dirinya sendiri kalau satu istri saja tidak akan cukup? Apakah keinginannya itu sudah dikomunikasikan pada sang calon istri? Sama seperti orang pacaran, yang awalnya manis dan dunia serasa milik berdua, kondisi masa depan memang tidak bisa diprediksi, termasuk perasaan kita. Bisa jadi dalam perjalanan hubungan, salah satunya sudah tidak bisa setia pada komitmennya dan hal itu tidak bisa dinegosiasikan lagi dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut.
Maka pesan terakhir saya adalah, bersetialah bukan pada pasangan kita, tapi pada komitmen yang telah kita buat. Bagi yang merasa komitmennya terlanggar, kita punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik bagi diri kita. Pun bagi yang merasa sudah melanggar komitmen, segeralah mengambil keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar