“Dan sang polisi menyuruh kami pulang. Seperti bapak galak pada
anaknya yang sedang asyik nongkrong kemalaman. Konyolnya, seperti dia tahu saja
dimana rumah kami. Lupa dia, inipun bukan rumahnya” (4 April 2012, 20.33)
Geram. Sakit hati.
Itu perasaan saya beberapa jam lalu, dan mungkin juga dialami oleh
beberapa orang lain yang datang ke Salihara untuk menghadiri kuliah umum dan
diskusi buku Irshad Manji. Bagaimana tidak, kami yang berkumpul di tempat yang
selayaknya orang berkumpul, dengan niatan belajar dan berbagi ilmu, diminta
bubar karena alasan ada pihak yang tidak menyetujui diskusi tersebut dan tidak
adanya perijinan. Cuh!
Adalah seorang polisi laki-laki yang mengaku Kapolsek Pasar Minggu
yang tiba-tiba menginterupsi diskusi yang baru saja berjalan sekitar 15
menitan. Melupakan kesopanan, dia tiba-tiba member tanda break (layaknya di
pertandingan olahraga) dan menyeruak ke depan menghampiri Irshad yang baru saja
membagi ide-idenya. Ketidaksopanannya sebetulnya sudah tampak ketika diskusi
baru saja dimulai. Tanpa perasaan bersalah, dia berdiri di depan saya yang
duduk di bangku belakang, lalu seenaknya menelepon dengan suara cukup kencang
sampai-sampai Irshad sempat menghentikan kuliahnya, memberikan waktu bagi si
bapak, yang baru diketahui belakangan ternyata polisi, untuk menyadari
ketidaksopanannya, yang sayangnya, tidak disadari juga.
Di depan peserta, dia kemudian berkata:
“Saya menerima SMS dari warga sekitar yang keberatan dengan
diskusi ini. Juga dari organisasi Islam. Saya bisa tunjukkan SMS nya. Saya
minta diskusi ini dihentikan sekarang juga.” Sontak disambut teriakan “Huuuuu!”
dari peserta. Tidak habis di situ, sang bapak polisi lalu mengatakan kalau
tidak ada perijinan untuk diskusi ini. Terlebih, pembicaranya adalah warga negara
asing. Irshad Manji berkewarganegaraan Kanada. Menurutnya, itu menyalahi aturan
yang ada di kepolisian.
Saya tidak ingin meributkan kelakuan oknum (karena tidak semua)
ormas fundamentalis yang teriak “Allahu Akbar” dengan nada penuh kebencian, ironisnya
kontradiksi dengan diskusi buku terbaru Irshad tentang bagaimana mendamaikan
iman dan kebebasan dalam lingkungan yang dipenuhi kebencian atas baik itu atas nama
agama, budaya, identitas atau lainnya. Membahas topik ini membutuhkan pemahaman
agama yang mumpuni, saya rasa. Sayangnya, saya tidak. Irshad sempat membahas
hal ini, bahwa kelemahan kelompok agama liberal adalah kurangnya telaah dan
kajian pada teks-teks agama padahal kita tidak harus menjadi akademisi di
bidang ini, toh para fundamentalis yang merasa paling benar pun bukan
akademisi.
Yang saya sesalkan adalah bagaimana tindakan polisi dalam
menghadapi kasus-kasus seperti ini. Bukan sekali dua kali acara pertemuan,
entah itu diskusi, pelatihan atau gathering, terpaksa dibubarkan dengan alasan
ada ancaman dari pihak-pihak tertentu. Jelas tidak bijaksana jika melulu yang
harus mengalah adalah yang mendapatkan ancaman! Apa gunanya embel-embel
pelindung masyarakat jika masyarakat merasa terancam? Masyarakat mana yang
sebetulnya mereka lindungi? Jika kejadiannya dibalik, kami beramai-ramai
mengirim SMS kepada kepolisian mengatakan kami tidak setuju kalau ormas A
mengadakan acara diskusi, bedah buku atau arisan, apakah acara diskusi, bedah
buku atau arisannya akan diminta bubar juga? Sebagai warga Negara, kami, para
fundamentalis dan non-fundamentalis, punya hak sama untuk berkumpul. Itu diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara ini! Kepolisian sebagai tangan pemerintah,
telah nyata-nyata melanggar hak asasi manusia.
Saya bikin analogi iseng-isengan. Pak Beye yang doyan sekali
curhat dan terakhir (terakhir saya dengar maksudnya) adalah soal ancaman yang
ditujukan kepadanya lewat SMS, lalu suatu waktu ketahuan siapa yang mengirim
pesan itu, alih-alih menangkap si pengirim pesan, polisi akan menyarankan Pak
Beye, “Ganti nomor aja kali, Bos!” atau “Sudah, tidak usah pakai HP, banyak
mudharatnya!” atau bagaimana?
Kemudian urusan perijinan yang kata sang Kapolsek tidak dikantongi
oleh panitia, itu dagelan lain. Apa dia pikir ini konser Lady Gaga, Suju atau
Laruku yang antrian penontonnya sampai bikin tambah macet ibu kota?
Hitung-hitung, peserta diskusi Irshad ini paling 50 orang saja. Ada yang bawa
motor, mobil, ada juga yang berkendaraan umum seperti saya. Kalau Jalan Salihara
macet, memang sudah dari sononya, tidak perlu ditambah jumlah pengunjung Teater
Salihara yang tiba-tiba banyak. Dan tak mungkin juga, sekelas Salihara baru
kali ini ramai pengunjung. Minimal seminggu sekali pasti ada pementasan yang
menarik banyak orang berdatangan. Plus, tentu saja, tidak akan ada fansnya
Irshad yang saking histerisnya lantas sampai cakar-cakar muka atau pingsan
kehabisan nafas karena berdesak-desakan. Jadi perijinan apa yang sebetulnya
dimaksud Bapak Kapolsek?
Penasaran, saya coba cari tahu tugas pokok polisi. Dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
disebutkan tugas pokok mereka adalah a. memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya, terkait perijinan, pada Pasal 15
ayat 2 point b dijelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang memberikan izin dan
mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. Goenawan
Muhammad, sang pendiri Salihara, yang saat kejadian juga ada di lokasi, mengatakan
sebelumnya Salihara mengundang banyak artis dan pembicara dari luar negeri
tanpa perijinan, toh lancar-lancar saja. Bingung saya sama hukum di Negara ini.
Saat saya memutuskan pulang setelah Irshad akhirnya bersedia
meninggalkan Salihara, saya mampir sejenak di warung rokok, beberapa warga yang
ingin tahu ada kejadian apa di Salihara berkumpul di sana dan bertanya-tanya,
“Ini ada apa sih kok banyak polisi?”
Lha! Warga yang mana yang kata Bapak Kapolsek tadi keberatan
dengan acara diskusi? Wong acaranya apa warga saja tidak tahu! Saya jelaskan siapa
Irshad dan ide apa yang ia coba bagi dengan peserta diskusi.
Hal yang menarik bagi saya adalah semakin saya yakin kalau oknum
ormas itu hanya modal nekad saja. Contohnya, mereka meneriaki Irshad “Yahudi!”
yang padahal jelas Irshad adalah seorang Muslim. Jangankan baca bukunya,
mungkin orangnya yang mana juga mereka tidak tahu. Kedua, ternyata oknum-oknum itu
cepat terbakar jenggotnya dan takut tiket surganya bakal invalid hanya karena
seorang feminis muslim asal Kanada diundang untuk berdiskusi. Tidak bisa
dibayangkan kalau para feminis-feminis Muslim yang lantang menyuarakan isu
kemanusiaan bersepakat untuk membuat semacam girl/boyband lalu menggelar konser
tiga malam. Kebakaran apanya lagi ya para oknum itu?
Buku Irshad Manji terbaru “Allah, Liberty and Love” sudah di
tangan saya. Saatnya membaca! Terima kasih, Irshad, sore ini kamu tunjukkan bagaimana
untuk tidak cepat mengalah kepada situasi dan bagaimana menjadi orang memiliki
keyakinan luar biasa!
Ingin tahu lebih banyak tentang Irshad Manji? Kunjungi langsung official websitenya di sini.
Ingin tahu lebih banyak tentang Irshad Manji? Kunjungi langsung official websitenya di sini.
ya, sempet ikut geram juga meski cuma baca beritanya di media onlen. :/
BalasHapuspolisi udah bisa digerakin sama ormas-ormas, kehilangan wibawanya. bagaimana masyarakat mau merasa aman.
btw, lucu juga itu yang analogi Pa Beye. wkwk
kalo ada diskusi ajak2 dong. :D
pak Beye kan lucu-lucu gemesin gimana gituuuu... ya tar gw ajak diskusi bareng FPI ya, mat =)
BalasHapusMakannya min, hati n otak sama2 diisi. Kalau hati ente kosong n otak aja yg dipenuhi, ntar jadi pengikut Gay kayak Irshad Manji.. Weleh2 orang udah jelas bobroknya, masih aja dibela. Yang ngasih nasehat, dimaki2.. Sableng...
BalasHapusYa betul sekali, hati dan otak harus sama-sama diisi, tapi ya jangan juga hatinya diisi sama kemarahan dan dengki saja. Kalau kita bisa duduk bareng-bareng dan berdiskusi kan enak tuh, gak ngotot-ngototan. By the way, Irshad Manji tidak hendak 'merekrut' pengikut gay kok, jangan khawatir kalau anda sudah yakin dengan orientasi seksual anda..
BalasHapuskalau mbak galink lesbi apa normal? trims.
BalasHapus@ Anonymous: saya tanya balik dulu ah hehe.. kalau saya lesbi kenapa, kalau bukan kenapa? dan menurut saya, lesbian bukan abnormalitas
BalasHapus