Saya masih ingat,
siang itu saya sedang bekerja di depan komputer. Di belakang saya, kawan saya
duduk di meja panjang, menghadap laptop. Saya mendengar ia lalu menggeser
kursinya dan berdiri menghampiri saya membawa secarik kertas kemudian
memberikannya kepada saya. Sambil tersenyum ia bilang, “Aku positif”.
Saya sudah bekerja di
isu HIV & AIDS cukup lama. Meksipun saya bukan orang lapangan, dalam
beberapa pertemuan tidak jarang saya bertemu dengan orang yang terinfeksi HIV
(orang menyingkatnya ODHA, saya memilih tidak pakai singkatan karena untuk
orang yang terinfeksi virus lain juga tidak ada singkatannya). Beberapa kali
juga saya mendengar kabar, si A baru VCT dan hasilnya positif, atau si B
meninggal karena AIDS. Namun ketika kawan saya sendiri yang mengatakan ia
positif, perasaan saya campur aduk. Usaha saya sekuat tenaga untuk akhirnya
memberikan respon, “Jadi, apa rencanamu?”
Usianya beberapa tahun
lebih muda dari saya. Kegiatan dan ketertarikan kami pada isu yang sama membuat
kami dekat.Dia sangat periang dan setiap kehadirannya selalu meramaikan
suasana. Maka ketika ia memberikan kabar itu, ada rasa khawatir kalau ia akan
berubah walaupun saya tahu pengetahuannya soal HIV & AIDS tergolong
advance. Saya sempat bingung juga dengan pengetahuan yang dia punya, kenapa
masih bisa terinfeksi. Tapi saya tidak mau menyinggungnya, sudah tak ada guna.
“Ya sudah, aku nikmati
saja hidup selagi bisa,” jawabnya masih dengan tersenyum. Namun kali ini
senyumnya agak pahit. Saya lalu memberikan nasihat untuk menjaga gaya hidupnya.
Nasihat yang saya yakin dia sudah tahu. Soal kematian, saya bilang itu tidak
bisa diprediksi, bisa jadi saya yang lebih dulu mati karena tertabrak kereta
atau semacamnya. Dia kembali tersenyum.
Saya mungkin bukan
teman yang baik dalam hal ini. Beberapa kali saya bersikap sok tak peduli saat
kawan saya itu membandel kalau saya mengingatkan dia untuk mengurangi aktivitas
di malam hari. Pada akhirnya saya cuma bilang, “Terserah. Itu hidupmu”. Mungkin
kalimat itu akan benar-benar terdengar demikian kalau lawan bicara saya orang
lain. Tapi karena dia kawan baik, saya selipkan nada kecewa dalam kalimat itu
untuk menunjukkan kalau saya sebetulnya peduli tapi tidak memiliki hak untuk
mengatur hidupnya.
Keterlibatannya dalam
kelompok dukungan sebaya dan keputusannya mengonsumsi ARV meskipun hasil tes
CD4 nya masih bagus di kemudian hari, terus terang sangat mengejutkan saya.
Pertama, terlibat dalam kelompok dukungan sebaya berarti siap untuk diketahui
statusnya oleh teman-teman kami yang lain, mengingat sebagian besar teman kami
juga bekerja di isu HIV & AIDS. Bukan tak mungkin juga kegiatannya akan
tercium oleh keluarganya. Kedua, keputusan mengonsumsi ARV adalah kontrak
seumur hidup, membutuhkan komitmen. Hal yang saya khawatirkan adalah keputusan-keputusan
tersebut diambil karena tergesa-gesa. Sekali lagi, saya merasa telah gagal
menjadi teman baik, tidak bisa membantunya memberikan pertimbangan-pertimbangan
yang mungkin dia butuhkan saat akan mengambil keputusan.
Kepindahan saya ke
kota lain beberapa bulan berikutnya membuat kami jarang berkomunikasi. Hanya
sesekali menelepon atau berkirim pesan singkat. Itupun tak pernah menyinggung
urusan kesehatannya. Sekali dua kali kami bertemu, tapi tak pernah lama dan
hadirnya beberapa teman lain menghalangi saya untuk menanyakan kabarnya lebih
dalam. Sampai akhirnya, saat dia datang ke Jakarta untuk sebuah urusan, kami
memiliki waktu yang cukup untuk berbicara banyak.
Keceriaannya masih
ada. Namun ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Kawan saya sering bicara dengan
tatapan entah kemana. Kadang saya menebak-tebak dimana pikirannya saat dia
bicara. Kali ini, setiap dia bicara, saya tidak hanya menebak, tapi saya juga
bisa merasakan dimana dia sedang berada.
Hamparan rumput yang luas dengan sinar matahari yang hangat. Dia berubah.
“Aku sekarang berusaha
menerima semua yang ada dalam diriku, termasuk virus-virus sialan ini,” katanya
tenang, namun dengan nada sedikit mengejek saat dia mengatakan sialan. Dia menceritakan keterlibatannya
di sebuah organisasi yang memberikan dampak luar biasa pada bagaimana ia
memandang hidup. Ia mencoba bermeditasi dan mengakarkan dirinya pada alam
semesta. Saya takjub.
Saya berkaca pada diri
saya sendiri. Sejauh mana saya sudah bisa menerima segala hal yang ada dalam
diri saya? Masih pantaskah saya berkeluh kesah soal keseharian saya yang kadang
menjemukan atau merasa pesimis tentang masa depan saya? Dan dimana rasa terima
kasih saya pada alam semesta yang sudah memberikan banyak hal dan pelajaran?
Semua orang berubah. Kawan saya berubah menjadi positif, tidak hanya statusnya
saja, tapi kini juga pikirannya.
Bernegosiasi dengan
HIV yang ada dalam tubuh bukan perkara mudah. Bukan soal virus atau rentetan
terapi yang harus dijalani yang membuatnya berat. Lebih dari itu, lingkungan
sosial yang masih terperangkap dalam mitos soal HIV acapkali menjadi masalah
yang harus dihadapi: teman-teman, keluarga, layanan kesehatan dan sebagainya. Omong
kosong kalau saya mencoba mengatakan kepada semua orang yang terinfeksi HIV untuk
berpikiran positif saat masyarakat masih memandang negatif keberadaan mereka. Setiap
orang punya masalah masing-masing yang berat ringannya tak bisa kita
perbandingkan.
Saat ini, lebih banyak
teman, bahkan ada satu saudaranya yang sudah mengetahui status kawan saya.
Alih-alih terbebani, kawan saya malah terlihat bebas saat menceritakannya pada
saya. Ada secercah cahaya dalam hati saya saat saya tahu orang-orang itu, teman
dan saudaranya, bisa menerima statusnya. Kami mungkin tidak berandil banyak
dalam memberikan dukungan kepadanya. Satu-satunya yang bisa saya berikan adalah
tetap menjadi kawan baik, mendengarkan ceritanya dan melihatnya sebagai manusia
utuh.
Di mata saya, kawan
saya adalah contoh orang yang terinfeksi HIV namun tidak mengungkung dirinya
dalam kekhawatiran tak perlu soal statusnya. Ia tahu kehidupan dan masa
depannya akan berubah sejak HIV hidup dalam aliran darahnya. Namun tak
membutuhkan waktu lama baginya untuk membuka jalan baru yang seindah, atau
bahkan mungkin lebih, dari mimpi-mimpinya di masa lalu. Ya, usianya lebih muda
dari saya, tapi pengalamannya menghadapi kehidupan jauh melebihi saya.
(Jakarta)
Mas syaratnya masih kurang, tolong ditambahkan Capture bukti follownya.
BalasHapusPeserta lomba juga wajib memfollow @AusAID @VIVAnews @VIVAvlog.
Info lengkap: http://www.vivanews.com/aids_govlog
Thanks.
oh, ya.. maaf.. sudah diperbaik =)
BalasHapusnice post kawand :)
BalasHapussy sndri blm pernah berinteraksi lgsg dgn penderita HIV..
terima kasih..
BalasHapusikutan govlog juga ya? sukses! =)
:)
BalasHapusSaya suka gaya nulisnya :)
Join Fan Pages VIVAlog
Best Regards, Gal's
@ Galuh: thanks ya =) silakan berselancar di sini
BalasHapus