13 November 2011

Positif: Status dan Pikiran


Saya masih ingat, siang itu saya sedang bekerja di depan komputer. Di belakang saya, kawan saya duduk di meja panjang, menghadap laptop. Saya mendengar ia lalu menggeser kursinya dan berdiri menghampiri saya membawa secarik kertas kemudian memberikannya kepada saya. Sambil tersenyum ia bilang, “Aku positif”. 

Saya sudah bekerja di isu HIV & AIDS cukup lama. Meksipun saya bukan orang lapangan, dalam beberapa pertemuan tidak jarang saya bertemu dengan orang yang terinfeksi HIV (orang menyingkatnya ODHA, saya memilih tidak pakai singkatan karena untuk orang yang terinfeksi virus lain juga tidak ada singkatannya). Beberapa kali juga saya mendengar kabar, si A baru VCT dan hasilnya positif, atau si B meninggal karena AIDS. Namun ketika kawan saya sendiri yang mengatakan ia positif, perasaan saya campur aduk. Usaha saya sekuat tenaga untuk akhirnya memberikan respon, “Jadi, apa rencanamu?”

Usianya beberapa tahun lebih muda dari saya. Kegiatan dan ketertarikan kami pada isu yang sama membuat kami dekat.Dia sangat periang dan setiap kehadirannya selalu meramaikan suasana. Maka ketika ia memberikan kabar itu, ada rasa khawatir kalau ia akan berubah walaupun saya tahu pengetahuannya soal HIV & AIDS tergolong advance. Saya sempat bingung juga dengan pengetahuan yang dia punya, kenapa masih bisa terinfeksi. Tapi saya tidak mau menyinggungnya, sudah tak ada guna. 

“Ya sudah, aku nikmati saja hidup selagi bisa,” jawabnya masih dengan tersenyum. Namun kali ini senyumnya agak pahit. Saya lalu memberikan nasihat untuk menjaga gaya hidupnya. Nasihat yang saya yakin dia sudah tahu. Soal kematian, saya bilang itu tidak bisa diprediksi, bisa jadi saya yang lebih dulu mati karena tertabrak kereta atau semacamnya. Dia kembali tersenyum.

Saya mungkin bukan teman yang baik dalam hal ini. Beberapa kali saya bersikap sok tak peduli saat kawan saya itu membandel kalau saya mengingatkan dia untuk mengurangi aktivitas di malam hari. Pada akhirnya saya cuma bilang, “Terserah. Itu hidupmu”. Mungkin kalimat itu akan benar-benar terdengar demikian kalau lawan bicara saya orang lain. Tapi karena dia kawan baik, saya selipkan nada kecewa dalam kalimat itu untuk menunjukkan kalau saya sebetulnya peduli tapi tidak memiliki hak untuk mengatur hidupnya.

Keterlibatannya dalam kelompok dukungan sebaya dan keputusannya mengonsumsi ARV meskipun hasil tes CD4 nya masih bagus di kemudian hari, terus terang sangat mengejutkan saya. Pertama, terlibat dalam kelompok dukungan sebaya berarti siap untuk diketahui statusnya oleh teman-teman kami yang lain, mengingat sebagian besar teman kami juga bekerja di isu HIV & AIDS. Bukan tak mungkin juga kegiatannya akan tercium oleh keluarganya. Kedua, keputusan mengonsumsi ARV adalah kontrak seumur hidup, membutuhkan komitmen. Hal yang saya khawatirkan adalah keputusan-keputusan tersebut diambil karena tergesa-gesa. Sekali lagi, saya merasa telah gagal menjadi teman baik, tidak bisa membantunya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mungkin dia butuhkan saat akan mengambil keputusan.

Kepindahan saya ke kota lain beberapa bulan berikutnya membuat kami jarang berkomunikasi. Hanya sesekali menelepon atau berkirim pesan singkat. Itupun tak pernah menyinggung urusan kesehatannya. Sekali dua kali kami bertemu, tapi tak pernah lama dan hadirnya beberapa teman lain menghalangi saya untuk menanyakan kabarnya lebih dalam. Sampai akhirnya, saat dia datang ke Jakarta untuk sebuah urusan, kami memiliki waktu yang cukup untuk berbicara banyak.

Keceriaannya masih ada. Namun ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Kawan saya sering bicara dengan tatapan entah kemana. Kadang saya menebak-tebak dimana pikirannya saat dia bicara. Kali ini, setiap dia bicara, saya tidak hanya menebak, tapi saya juga bisa merasakan dimana dia sedang berada.  Hamparan rumput yang luas dengan sinar matahari yang hangat. Dia berubah.

“Aku sekarang berusaha menerima semua yang ada dalam diriku, termasuk virus-virus sialan ini,” katanya tenang, namun dengan nada sedikit mengejek saat dia mengatakan sialan. Dia menceritakan keterlibatannya di sebuah organisasi yang memberikan dampak luar biasa pada bagaimana ia memandang hidup. Ia mencoba bermeditasi dan mengakarkan dirinya pada alam semesta. Saya takjub.

Saya berkaca pada diri saya sendiri. Sejauh mana saya sudah bisa menerima segala hal yang ada dalam diri saya? Masih pantaskah saya berkeluh kesah soal keseharian saya yang kadang menjemukan atau merasa pesimis tentang masa depan saya? Dan dimana rasa terima kasih saya pada alam semesta yang sudah memberikan banyak hal dan pelajaran? Semua orang berubah. Kawan saya berubah menjadi positif, tidak hanya statusnya saja, tapi kini juga pikirannya.

Bernegosiasi dengan HIV yang ada dalam tubuh bukan perkara mudah. Bukan soal virus atau rentetan terapi yang harus dijalani yang membuatnya berat. Lebih dari itu, lingkungan sosial yang masih terperangkap dalam mitos soal HIV acapkali menjadi masalah yang harus dihadapi: teman-teman, keluarga, layanan kesehatan dan sebagainya. Omong kosong kalau saya mencoba mengatakan kepada semua orang yang terinfeksi HIV untuk berpikiran positif saat masyarakat masih memandang negatif keberadaan mereka. Setiap orang punya masalah masing-masing yang berat ringannya tak bisa kita perbandingkan. 

Saat ini, lebih banyak teman, bahkan ada satu saudaranya yang sudah mengetahui status kawan saya. Alih-alih terbebani, kawan saya malah terlihat bebas saat menceritakannya pada saya. Ada secercah cahaya dalam hati saya saat saya tahu orang-orang itu, teman dan saudaranya, bisa menerima statusnya. Kami mungkin tidak berandil banyak dalam memberikan dukungan kepadanya. Satu-satunya yang bisa saya berikan adalah tetap menjadi kawan baik, mendengarkan ceritanya dan melihatnya sebagai manusia utuh.

Di mata saya, kawan saya adalah contoh orang yang terinfeksi HIV namun tidak mengungkung dirinya dalam kekhawatiran tak perlu soal statusnya. Ia tahu kehidupan dan masa depannya akan berubah sejak HIV hidup dalam aliran darahnya. Namun tak membutuhkan waktu lama baginya untuk membuka jalan baru yang seindah, atau bahkan mungkin lebih, dari mimpi-mimpinya di masa lalu. Ya, usianya lebih muda dari saya, tapi pengalamannya menghadapi kehidupan jauh melebihi saya. 

(Jakarta)






6 komentar:

  1. Mas syaratnya masih kurang, tolong ditambahkan Capture bukti follownya.

    Peserta lomba juga wajib memfollow @AusAID @VIVAnews @VIVAvlog.

    Info lengkap: http://www.vivanews.com/aids_govlog

    Thanks.

    BalasHapus
  2. oh, ya.. maaf.. sudah diperbaik =)

    BalasHapus
  3. nice post kawand :)
    sy sndri blm pernah berinteraksi lgsg dgn penderita HIV..

    BalasHapus
  4. terima kasih..
    ikutan govlog juga ya? sukses! =)

    BalasHapus
  5. @ Galuh: thanks ya =) silakan berselancar di sini

    BalasHapus