Ini kali kedua saya akan pulang ke rumah orang tua saya setelah saya pindah ke Jakarta. Pulang ke rumah orang tua yang tidak pernah lebih dari 3 kali dalam setahun adalah berarti siap-siap membeli oleh-oleh untuk sanak saudara di sana, apalagi untuk keponakan-keponakan saya. Saat saya tinggal di Jogja, membeli oleh-oleh tidak terlalu membingungkan, cukup jalan di Malioboro dan tinggal memilih barang. Beragam, harga murah dan khas Jogjanya juga dapat. Di Jakarta?
Pulang pertama beberapa bulan kemarin, saya belikan saja dua keponakan laki-laki saya buku bacaan. Sementara untuk keponakan perempuan saya belikan boneka kepiting. Bukan alasan gender, tapi karena si keponakan perempuan ini umurnya belum ada 1 tahun, dan ternyata, keponakan perempuan saya tidak suka boneka hehe..
Kali ini, awalnya mau saya belikan saja keponakan-keponakan saya yang laki-laki baju baru. Ya, itung-itung baju lebaran. Untung saja tidak jadi, karena selain saya bingung dengan ukuran dan kesukaan mereka (warna, gambar, dan sebagainya), keponakan saya yang paling besar mengirimi saya pesan singkat untuk tidak dibelikan baju lebaran karena sudah punya. Hahaha... anak jaman sekarang. Akhirnya, saya kembali membelikan mereka buku. Berharap keponakan-keponakan saya jadi punya minat baca, plus tambahan pengetahuan. Maka pergilah saya ke toko buku terdekat.
Butuh waktu berjam-jam bagi saya untuk memilih buku yang tepat. Pertama, saya harus yakin kalau buku yang akan saya berikan sudah sesuai dengan kemampuan mereka, usia mereka. Kedua, saya ingin membeli buku yang tentu saja berkualitas baik dari segi isi maupun tampilannya. Tentu, saya menghindari buku yang bias gender dan terlalu penuh dengan doktrin.
Terus terang saya bingung dengan buku-buku anak-anak yang ada di pasaran. Saya merasa anak-anak jaman sekarang dituntut lebih dari anak-anak di jaman saya dulu (atau dulu saya tidak diperlakukan begitu ya?). Buktinya, dari sekian banyak buku, kebanyakan lebih fokus pada peningkatan kemampuan anak, yang menurut saya terlalu memaksa. Mengenal huruf dan angka untuk anak di bawah 5 tahun, masih masuk akal lah. Tapi sampai juga dikenalkan bahasa Inggris, Mandarin, Arab apalagi Korea? Saya ngelus-elus dada. Saya sampai harus berpikir beribu kali membelikan keponakan saya buku bilingual, apalagi trilingual. Apa para penerbit itu memang menangkap kebutuhan pasar (yaitu orang tua) yang menginginkan anak-anaknya bisa lancar cas cis cus bahasa asing?
Bukannya saya tidak ingin keponakan saya bisa juga lancar bicara bahasa asing, cuma saya pikir, itu ada waktunya sendiri. Toh di keluarga saya tidak ada yang bicara Mandarin, Arab atau Korea. Yang saya pentingkan lebih dulu adalah bagaimana agar bisa menanamkan nilai-nilai kemanusiaan sejak dini, yang tentu saja tidak bisa didapat dengan berlatih menulis rapi, menghitung perkalian atau menghapalkan beberapa kata Mandarin.
Saya lalu mencoba mencari buku-buku terjemahan. Ada satu buku yang cukup menarik dengan gambar yang sederhana dan sangat anak-anak. Saya tertarik karena judulnya adalah bagaimana agar anak bisa mengenal dan hidup dalam keberagaman. Tapi setelah saya baca sekilas, di dalamnya ada beberapa bagian yang kurang cocok diterapkan untuk keponakan saya dalam budayanya dimana dia hidup. Saya ingat, saya juga pernah berniat membelikan keponakan saya sebuah buku tentang bagaimana menghadapi lingkungan sosial di sekolah. Bagus bukunya, cuma sayang, lagi-lagi konteks budaya. Misalnya ada bagian saat sang tokoh juga harus berhadapan dengan pacar ibunya, dan sebagainya. Untuk anak umur 8 tahun yang tinggal di kota kecil di Indonesia, konsep-konsep seperti itu mungkin akan membingungkan, walau tidak mungkin ada beberapa anak yang harus menghadapi kondisi tersebut, tapi tidak dengan keponakan saya.
Ah semoga saja buku anak-anak yang bermutu dan mendidik tidak akan menjadi langka seperti lagu dan tontonan untuk anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar