10 Desember 2010
I've Judged a Book by It's Cover
Hujan sepanjang hari di Jogja. Berangkat ke kantor kena hujan, pulang juga begitu. Untung, hujannya masih air. Kelaparan, saya berhentikan motor saya di tempat makan yang sudah lama sekali tidak saya datangi. Ketika saya berhenti tepat di depan tempat makan, saya tak melihat ada tukang parkir. Aman, pikir saya. Hehehe... nggak mau rugi.
Tapi ketika saya melepas mantel hujan, tampaklah sesosok berpakaian jingga, khas tukang parkir. Bersiap-siap mengambil payung besar, mungkin berniat menjemput saya agar tidak kena hujan. Terlambat. Laki-laki itu bisa dikatakan sudah tidak muda lagi. Wajahnya agak oriental. Dengan agak kesal, saya lewati tubuhnya yang berdiri di depan pintu masuk. Kesal pertama karena ternyata tempat makan kecil itu ada tukang parkirnya juga. Wajar sih, kecil-kecil begitu, tempat makannya ramai pengunjung. Kesal saya yang kedua adalah telatnya dia memberikan payung kepada saya. Atau mungkin saya yang kege-eran, sebenarnya tukang parkir hanya berniat mengambil payungnya untuk dipakainya sendiri? Entah.
Hampir setengah jam saya menunggu ayam rica-rica pesanan saya selesai dimasak. Begitu terhidang di atas meja, langsung saja saya sikat tak bersisa hanya dalam waktu 5 menit. Lapar sekali saya. Selesai bayar makan, saya segera menuju motor sambil menyiapkan uang seribuan untuk parkir. Masih gerimis. Saya langsung berikan uang seribuan saya kepada tukang parkir. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak biasa,
"Terima kasih, Mas, sudah bagi-bagi rejeki," katanya dalam bahasa Jawa. Sengaja saya terjemahkan dalam versi Indonesia karena saya takut salah tulis hehe...
"Eh, ya, sama-sama, Pak," jawab saya agak kikuk. Biasanya tukang parkir hanya mengatakan 'terima kasih'. Itu saja masih untung, biasanya malah cuma langsung sambar uang yang kita lalu kembali ke tempat duduk dan menikmati kembali rokok mereka. Terlebih, tukang parkir yang satu ini mengucapkan terima kasih dengan senyum dan terlihat sumringah. Sebuah ketulusan. Mungkin. Semoga.
Sang tukang parkir tidak berhenti bicara sampai di situ. Ia masih juga kembali mengucapkan terima kasih dan mengatakan ia memang membutuhkan uang itu. 'Ya, Pak, itu cuma seribu, biasa aja kali,' pikir saya. Sisi hati bijak langsung menghardik pikiran saya itu, mengingatkan kalau uang itu nilainya tidak ditentukan oleh jumlah nolnya tapi dari sejauh mana manusia membutuhkannya. Bapak parkir itu juga lalu bercerita singkat kalau payungnya tadi dipatahkan pekerja tempat makan, padahal payung itulah yang menolongnya mencari uang untuk sesuap nasi. Waduh! Dan yang membuat saya tambah kikuk lagi adalah ketika ia mengatakan,
"Hujan terus hari ini. Hati-hati, Mas. Nggak usah ngebut. Hati-hati ya," katanya sambil membantu saya memundurkan motor.
Saya merasa dihargai sekali. Rasanya tidak seperti saya baru pulang dari tempat makan yang saya bahkan tidak kenal siapa kokinya. Seperti apa ya rasanya... Hmm... seperti habis mengunjungi rumah dan dijamu sedemikian rupa oleh seorang kawan dekat.
Penuh sesal hati saya karena sudah menyimpan kesal kepada si bapak tukang parkir. I've judged a book by it's cover.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar