Jam 10.00 malam, saya baru pulang dari RRI. Diajak siaran tentang isu yang sedang santer, larangan penayangan “banci” di Tv selama Ramadhan yang didengungkan KPI dan didukung MUI. Saya diminta memberikan pendapat dari aspek psikologi bagaimana pengaruhnya terhadap anak, dan sebagainya.
Beberapa hari belakangan, isu ini juga sempat menjadi topik perbincangan di milis jurnal perempuan dan womenlbt. Saya hanya membaca sekilas. Barulah ketika saya diminta sebagai narasumber di radio pemerintah tersebut, saya buka-buka lagi milis itu, plus nyari-nyari berita di internet yang ada sangkut pautnya.
Awalnya saya pikir KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) akhirnya merespon juga desakan kawan-kawan di gerakan LGBTQ mengenai penayangan tokoh banci (laki-laki yang berdandan perempuan, bukan waria sebenarnya) di sejumlah acara di televisi yang cenderung merendahkan komunitas waria. Waria selalu ditampilkan sebagai tokoh kocak, penuh banyolan. Intinya, hanya jadi bahan tertawaan. Jelas ini harus dikritisi. Harus digugat.
Namun, ketika saya tahu kebijakan KPI ini diboncengi MUI, saya jadi khawatir. Betul saja, larangan penayangan tokoh waria di TV yang dikeluarkan KPI lebih ditekankan pada pengaruhnya pada psikologis anak-anak. Banyak pihak mengklaim, termasuk orang tua, tokoh-tokoh itu akan diimitasi anak-anak. Mereka ketakutan jika anak-anak mereka “keterusan” ngiku-ngikut waria. Dalih agama tak ketinggalan menjadi bahan pertimbangan. Akh, lagi-lagi...
Di usia 3-6 tahun, anak-anak memang sedang mengalami perkembangan yang luar biasa. Mereka belajar tentang banyak hal di lingkungannya. Semua diserap. Beberapa (yang menarik perhatian) kemudian ditiru. Bahasa kerennya, modeling, yang menjadi kunci teori belajar sosial pada manusia. Belajar berdasarkan pengamatan dan pemahaman terhadap lingkungan sosial. Wajar saja, jika mereka kemudian meniru tokoh-tokoh yang ada di televisi, termasuk tokoh waria. Apakah ini perlu dikhawatirkan berkaitan dengan perkembangan si anak selanjutnya? Tergantung. Tergantung bagaimana anak mendapatkan pemahaman selanjutnya mengenai waria, mengenai dunia akting, mengenai cara menghargai orang lain yang berbeda, mengenai seksualitas. Itu tanggung jawab orang tua.
Nah, sudahkah sebagai orang tua, kita memberikan pemahaman itu? Ataukah cukup dengan menyalahkan televisi, urusan selesai? Kalau untuk urusan “ketularan”, transgender bukan penyakit menular. Jangan khawatir. Menurut saya, kalau anak Anda memang tidak punya potensi transgender ya tidak akan ”jadi” waria. Kalaupun memang punya potensi, tugas Anda sebagai orang tua, sekali lagi, memberikan pemahaman yang BENAR tentang seksualitas, transgender, dan tentu saja, tetap memberikan kasih sayang sebagai orang tua.
Waria. Saya baru saja berkegiatan bersama mereka di acara pembukaan Jogja Fashion Week 2008, pekan silam. Mereka jelas tidak semenyeramkan bayangan orang. Memang ada, waria yang genit, suka maling, susah diatur. Tapi ayo kita tengok teman atau saudara kita yang bukan waria, ada yang genit juga kan? Ada yang suka maling juga? Yang susah diatur? Intinya sama saja. Mereka punya potensi, jelas. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat kemampuan mereka mendandani diri mereka, menentukan bahan dan warna kain yang akan dipakai. Teman perempuan saya sampai mengaku kalah dalam soal itu.
Eits... tapi tunggu. Potensi mereka bukan cuma di urusan dandan, fashion, dan dunia hiburan. Saya kenal beberapa waria yang pintar menulis. Saya juga sempat baca ada waria yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sekali lagi, intinya sama. Masalahnya adalah, mereka tidak pernah diberikan hak dan kesempatan yang sama dengan warga negara lain. Ada teman waria yang bisa dapat gelar sarjana. Tapi lebih banyak lagi yang boro-boro buat kuliah, untuk makan sehari-hari saja mereka harus membanting tulang. Keluarga sudah tidak mau tahu dengan keadaan mereka. Apa kabar negara yang seharusnya menjamin semua warganya mendapatkan hak azasi mereka?
Nasib teman-teman waria yang berada di daerah yang masih kental mempertahankan budaya Nusantara, mungkin lebih baik. Banyak budaya-budaya Nusantara yang mengizinkan fenomena transgender ini. Bahkan di suatu daerah di Sulawesi (mungkin di banyak daerah lain juga), dikenal istilah bissu, orang yang dianggap suci, memegang peranan vital dalam upacara-upacara adat, karena memiliki semua elemen: laki-laki dan perempuan, maskulinitas dan femininitas.
Sayang, kian hari kita kian dicecar budaya Barat. Yang saya maksud benar-benar baratnya Indonesia. Bukan baratnya bule-bule yang sering jadi kambing hitam. Agama dijadikan senjata untuk mempreteli budaya-budaya asli Nusantara. Esensi agama sebagai pembawa damai di dunia, mengendur karena jauh lebih mementingkan ritual dan kenampakan. Kehilangan sisi kemanusiaannya, termasuk dalam menghadapi fenomena waria atau perbedaan-perbedaan lainnya. Sebagai sebuah bangsa, lagi-lagi kita dijajah, kali ini oleh sebuah sistem agama yang dipandang secara sempit. Itu pendapat saya. Anda?
Ngomong-ngomong, banci kamera dilarang tayang di TV juga ga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar