Sedikit keluar dari masalah pernikahan, saya pernah bertanya pada jam pelajaran agama saat saya kelas 2 SMP, “Mengapa perempuan tidak diwajibkan sholat Jumat?” Teman saya, perempuan yang besar di pesantren, segera mengacungkan tangan dan menjawab,” Karena perempuan itu seharusnya berada di rumah, menyambut kedatangan para laki-laki yang pulang dari masjid. Pahalanya sama dengan pahala sholat Jumat.” Saya tidak puas dengan jawaban itu, lalu memalingkan muka pada guru saya berharap mendapatkan jawaban lain. Ternyata sang guru berkomentar, “Ya benar.. Pada jaman Nabi bla bla bla...” Ah, sayangnya, saat itu lebih banyak hal lain yang menarik perhatian saya dibandingkan belajar agama.
Doktrin-doktrin agama dijejalkan ke dalam kepala saya, dan juga murid yang lain, dan tidak memberikan kesempatan untuk bersikap kritis (baru beberapa tahun kemudian saya sadar bahwa sistem pendidikan kita, tidak hanya pendidikan agama, memang dibuat untuk mencetak manusia-manusia robot... Sia-sia sudah saya dulu jatuh bangun menghapal sejarah –yang ternyata banyak salahnya-, menghapal rumus matematika, fisika, kimia –yang ternyata hanya sedikit yang bisa benar-benar saya aplikasikan, menghapal Pancasila dan pasal-pasal undang-undang –yang ternyata menghasilkan koruptor kelas kakap). Pendidikan agama Islam menjadi media efektif propaganda benih-benih kebencian pada umat beragama lain. Pantas jika pas jam pelajaran tersebut, teman-teman saya dari agama lain diperkenankan (mungkin sebenarnya diusir, tapi saya pikir, tanpa itu pun mereka akan keluar kelas dengan sendirinya daripada panas kuping). Pun pendidikan agama islam menjadi pupuk bagi suburnya patriarki dan pelestarian nilai-nilai kelaki-lakian (dan ke-Arab-an). Ternyata, hal itu jugalah yang ikut andil dalam "kebijakan" pernikahan beda agama dalam islam. Penjelasan dari Imam Khaleel Mohammed sangat masuk akal bagi saya yang pemahaman tentang agamanya masih rendah (entah bagaimana cara tercepat mempelajari Islam tanpa harus bersusah payah belajar bahasa dan huruf Arab!).
Khaleel mengatakan bahwa Quran diturunkan, dan diinterpretasikan, tanpa bisa lepas dari pola adat pada masa itu. Perempuan diposisikan berada di bawah laki-laki, dan laki-laki mewarisi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, termasuk agama. Bisa dibayangkan jika perempuan muslim menikah dengan laki-laki Yahudi, misalnya. Perempuan tersebut harus tunduk pada nilai-nilai sang suami, nilai Yahudi! Padahal, orang Islam (masa itu, dan mungkin... saya yakin, pasti sekarang masih ada) menganggap kaum yang bukan Islam tidak menghormati ajaran Islam (dengan tidak mengakuinya Muhammad sebagai nabi). Artinya, pernikahan tersebut merendahkan martabat Islam. Apalagi jika si istri sampai pindah agama. Belum lagi urusan anak, dengan budaya patriarki, kemungkinan paling besar dari agama yang akan dianut sang anak adalah agama yang dibawa oleh pihak ayah. Setelah martabat agama terinjak, sekarang ditambah kehilangan penerus. Pada masa itu, dibutuhkan penerus-penerus ajaran Islam, terutama untuk menghadapi ajaran-ajaran lain yang bukan Islam. Penerus-penerus itu akan menjadi perwira-perwira tangguh untuk melakukan ekspansi ajaran Islam (atau kerajaan Arab??) ke seluruh dunia.
Situasi sekarang jelas berbeda. Wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan terus didengungkan. Ketika perempuan memiliki posisi yang lebih baik dalam mengambil keputusan atas tubuh dan dirinya, situasi di atas jelas menjadi terasa berlebihan jika masih dipaksakan dengan konteks kekinian. Penjelasan Khaleel Mohammed selengkapnya bisa anda download di sini.
Pemaksaan hukum pelarangan nikah bagi perempuan muslim dan laki-laki non muslim, sebenarnya bukan menunjukkan ketakutan penganut Islam secara keseluruhan, namun lebih spesifik menunjukkan ketakutan laki-laki muslim yang masih terperangkap dalam pola pikir patriarkis atas posisi mereka. Muncul pertanyaan bagi saya sendiri (dan semoga bagi anda juga), bukankah ketakutan mencerminkan ketidakberdayaan kita? Jika kita menganggap diri kita adalah orang yang gagah berani (bukankah itu peran yang coba dipaksakan patriarki bagi kita, kaum Adam?) mengapa kita harus takut?Bisakah kita, laki-laki muslim, memberikan kesempatan pada saudara-saudara perempuan kita untuk mendapatkan hak azasi mereka sebagai manusia dan menentukan hidupnya sendiri seperti kita? Sampai kapan kita akan mengekang mereka, memaksakan keegoisan kita?
Lalu bagaimana dengan urusan anak? Dengan pola asuh bagi anak yang semakin maju, terbuka, dan demokratis, anak memiliki kesempatan untuk memilih jalan hidupnya, termasuk agama apa yang akan ia anut. Tidak ada paksaan dalam agama, bukan? Lantas apa yang dulu kita alami sejak lahir, masuk sekolah, mencantumkan identitas di KTP?
Ya, ketika membaca tulisan di atas –yang saya comot juga dari Khaleel- mungkin membuat kerut di dahi anda. Khaleel menawarkan diskusi tentang hal ini, dan juga tentang hal lain dalam ajaran Islam yang lebih sering membuat umatnya bertanya-tanya. Jika anda tertarik silakan klik www.forpeoplewhothink.org
Berikut beberapa tulisan tentang pernikahan beda agama:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar