Minggu siang, 17 April 2022. Saya sedang lari di Krommerijnpark ketika handphone saya bergetar. Nama adik saya tampil di layar, terbersit untuk mengacuhkan saja dan meneleponnya kembali ketika saya sudah di rumah. Tapi ada dorongan untuk menekan tombol hijau. Di ujung sana, sambil terisak adik saya berkata, “Papap pingsan, tapi udah nggak ada respon. Dede (panggilan saya di rumah) doain aja ya.”
Saya memintanya untuk menelpon ambulans agar ayah kami bisa dibawa ke rumah sakit, tapi dia bilang sedang menunggu kedua kakak saya sampai di rumah. Rumah mereka berdua hanya berjarak 200-300 meter dari rumah orang tua kami. Saya melanjutkan lari ke rumah walaupun pikiran saya sudah tidak karuan. Satu kilometer menjelang rumah, saya telepon kakak saya untuk menanyakan kondisi ayah. Jawabannya singkat, mengabarkan ayah sudah berpulang, baru saja. Kakak lalu menyerahkan handphone-nya ke ibu saya. Terbata-bata ibu bilang, “Kamu nggak usah pulang, nggak apa-apa, jauh...”. Seketika itu juga air mata saya pecah.
*
Sudah beberapa bulan belakangan kondisi ayah saya memburuk. Sejak terserang stroke dua puluh tahun lalu, kondisi kesehatannya memang tidak pernah seratus persen stabil, walaupun tidak pernah parah atau sampai harus dirawat di rumah sakit. Awal tahun ini ibu saya mengabarkan kondisi ayah yang kesulitan menelan dan sering merasa kesakitan di punggungnya. Bukan ayah saya namanya kalau bisa dibujuk begitu mudah untuk diperika ke dokter. Kalau dia sampai mau diperiksa, berarti memang sakitnya sudah tak tertahankan (atau mungkin juga sudah menyerah mendengar omelan istri dan anak-anaknya).
Bulan Februari, ayah minta video call dengan menggunakan handphone ibu. Suaranya serak kering, tidak sampai separuh yang dia ucapkan bisa saya bisa pahami. Ibu saya yang mencoba menjembatani percakapan kami. Ayah meminta maaf kalau selama ini tidak bisa memberikan banyak untuk anak-anaknya, meminta saya tidak perlu pulang kalau ada apa-apa, hal-hal seperti itu. Jauh di lubuk hati, saya tersentuh dengan kata-katanya, namun karena kami tidak pernah berbicara hati ke hati dan lebih banyak guyonnya, saya tanggapi dengan gaya becanda saja.
“Periksa ke dokter sana. Kalau nggak diobatin, nanti aku pulang ngobrolnya sama siapa?”
Tentu saat itu saya tidak tahu kalau itu akan menjadi momen terakhir saya berkomunikasi dengannya.
*
Hubungan saya dengan ayah mungkin tidak seperti ayah-anak kebanyakan orang. Mungkin baru setelah saya lulus kuliah saya baru bisa bercakap-cakap dengannya. Saat saya kecil, impresi saya terhadap ayah adalah galak, keras, nyleneh. Kepribadiannya ini seperti berubah bila ia bertemu dengan teman-temannya atau orang yang bertamu ke rumah. Mereka bisa bercakap-cakap berjam-jam lamanya sambil tertawa terbahak-bahak. Saya ingat saat saya SD kelas 3 atau 4, ada PR (pekerjaan rumah) matematika yang tidak bisa saya kerjakan. Saya hampir tidak pernah meminta bantuan orang tua saya, pun orang tua juga tidak pernah menawarkan bantuan. “Kapan belajarnya kalau dibantuin terus,” begitu seloroh ayah yang selalu saya ingat. Tapi untuk PR satu ini saya benar-benar menyerah. Saya selonjoran di lantai menunggu ayah saya selesai menerima tamunya sehingga saya bisa minta tolong mengerjakan PR saya. Tapi sampai jam 9 malam, saya tidak dipedulikannya sama sekali. Saya tidak ingat bagaimana akhirnya nasib si PR, tapi saya ingat apa yang saya rasakan: merasa tidak diperhatikan. Saya baru paham kemudian kalau dia ingin menanamkan nilai untuk berusaha semaksimal mungkin demi mendapatkan sesuatu yang saya harapkan.
Saat saya kecil, komunikasi lebih banyak satu arah dari ayah. Seringkali dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis, terutama soal agama, yang sulit dicerna oleh anak setingkat SD-SMP. Misalnya, tiba-tiba membagi pandangannya mengenai konsep surga dan neraka, yang tidak sama plek dengan pandangan banyak orang. Topik-topik yang memuat saya enggan berlama-lama di dekat dia.
Tapi kadang emosinya tidak dapat diduga. Pernah suatu kali saat saya SMA dan belajar menyetir, saya menjerembabkan mobil dinas ayah ke kubangan besar depan rumah. Dengan kemiringan hampir 45 derajat, 90% badan mobil berada di dalam kubangan. Untung sedang musim kemarau. Saya sudah panik, habis ini pasti saya didamprat ayah. Ketika ayah saya bangun dan mengetahui kondisi mobilnya, dia minta supirnya untuk memanggil mobil derek dan mengabari kantor kalau dia akan telat. Dia sama sekali tidak menengok ke arah saya --yang saya yakin sedang berkeringat dingin sebesar-besar biji jagung, justru kembali masuk ke kamarnya dan melanjutkan tidur. Lha…
Mungkin baru sekitar 10 tahunan ke belakang hubungan kami agak dekat. Saya semakin paham pola berpikir ayah saya yang tidak biasa, yang lebih banyak miripnya dengan pola berpikir saya hehehe… Saya sudah bisa menjadi mitra diskusinya, duduk berjam-jam, berbicara tentang politik, agama, mistis dan banyak hal lain. Saya bisa menyampaikan pandangan-pandangan saya, kadang dia meresponnya dengan diam sebentar, mencoba memahami. Dia pun semakin banyak terbuka tentang masa lalunya, tidak hanya apa yang sudah dia lakukan, tapi juga apa yang dia rasakan, membuat saya lebih paham mengapa dia berperilaku seperti ini dan itu.
Butuh waktu dan penjelasan berulang-ulang untuk meyakinkan dia mengenai beberapa pilihan hidup saya, seperti tidak bekerja sebagai PNS (yang dia harapkan) dan tidak menikah. Saya ingat pada awal-awal, dia masih berusaha menunjukkan kalau keputusan-keputusan saya tidak benar di matanya. Saya juga menjelaskan dengan malas-malas kenapa saya memutuskan ABCD. Tapi makin lama, dia mulai menjelaskan secara logika mengapa dia memojokkan saya terus dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dan dia juga mulai mendengarkan. Sampai ketika saya pamit untuk pindah ke Belanda, dia memberikan restunya. Sambil merokok dan mencondongka badan ke arah saya, dia bilang, “Kalau kamu sudah yakin, ya sudah. Papap cuma tidak ingin kamu nantinya menyesal. Itu hak kamu untuk memutuskan jalan hidup kamu.” Dia melepas saya dengan air mata, hal yang jarang sekali saya lihat darinya. Karena pada saat bersamaan adik saya juga memutuskan pindah ke Bogor, saya pikir mungkin dia sedihnya karena kepindahan adik, yang saya selalu menganggapnya sebagai anak kesayangan ayah saya.
*
Setelah tahu kondisi ayah yang semakin memburuk, saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia bulan Juni depan. Sekalian liburan. Sejak saya pindah ke Belanda, saya belum pernah pulang karena banyak alasan, terutama COVID-19. Saya merasa sudah waktunya pulang dan mengunjungi kedua orang tua dan saudara. Hanya kepada adik saya mengatakan rencana saya itu karena saya khawatir jika terjadi sesuatu yang membatalkan rencana saya, ayah dan ibu tidak akan terlalu kecewa.
*
Setelah mendengar kabar meninggalnya ayah, saya bergumul dengan apakah saya harus pulang saat itu juga atau tidak sama sekali, mengikuti kata-katanya dan ibu saya. Jelas tidak mungkin saya bisa mengikuti proses pemakaman karena saya tahu keluarga saya, sesuai keyakinan, tidak akan menunda pemakaman. Toh pulang saat itu juga tidak mungkin karena protokol COVID-19, saya harus melakukan tes PCR terlebih dulu dan hasilnya baru keluar 24 jam kemudian. Kepada adik, saya berpesan untuk tidak perlu menjadikan saya sebagai pertimbangan untuk proses jenazah selanjutnya. Saya mengatakan pada diri sendiri, mungkin setelah menyaksikan proses pemakaman, saya bisa memutuskan apakah saya harus pulang atau tidak. Pemakaman dilakukan Senin pagi dan saya hanya bisa melihat melalui video call.
Selasa, 19 April 2022, saya pulang. Kepulangan dengan perasaan asing. Ada satu sisi saya yang mengatakan kalau ini semua tidak benar-benar terjadi. Kalau saya pulang, ayah masih akan ada di sana, mengundang saya duduk di depan televisi dan mengajak saya bercakap-cakap, menertawakan politisi, berteori ini itu tentang COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan mungkin juga dia akan bercerita tentang kakak kandungnya yang baru meninggal tahun lalu. Ada bagian dalam diri saya yang menolak kalau saat saya pulang, ayah ternyata sudah “pulang”.
Pap, terima kasih atas didikannya, ajarannya, kasihnya dan keterbukaannya. Pulanglah dengan tenang.